Jaring Oligarki di Pagar Laut: Tangkaplah Kawanan Teri, Sang Kakap Biar Berlalu

Jaring Oligarki di Pagar Laut: Tangkaplah Kawanan Teri, Sang Kakap Biar Berlalu
Pagar Laut dibongkar (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Advertisements

Apakabar kasus Pagar Laut di Pesisir Utara Tangerang? beberapa bulan terakhir suaranya semakin senyap nyaris tak terdengar. Publik mesti kembali mengawal proses hukum kasus yang seharusnya menjadi PSN nya penegakan hukum nasional. Jangan sampai jaring hukum diam-diam hanya menjaring kawanan teri sedangkan kakapnya dibiarkan berlalu.

Mari kita bayangkan kembali, laut yang jadi urat nadi ribuan nelayan, tiba-tiba dipagari bambu sepanjang 30 kilometer. Ini bukan sekadar pagar, tapi benteng yang memutus rezeki, merusak ekosistem, dan menyisakan tanya besar: siapa dalangnya? Kasus pagar laut Tangerang, yang meledak sejak Agustus 2024, adalah cermin buram bagaimana hukum di Indonesia kerap menjaring “ikan teri” sembari membiarkan “ikan kakap” berenang bebas. Lebih dari itu, ini adalah potret ketimpangan struktural yang membiarkan oligarki menguasai negeri.

Pagar ini melilit 16 desa di enam kecamatan, dari Muncung hingga Pakuhaji, menghambat 3.888 nelayan dengan kerugian Rp 7,7 miliar per bulan. Ekosistem laut kacau: aliran air terganggu, habitat biota rusak. Siapa pelaku? Awalnya, tak ada yang mengaku. Jaringan Rakyat Pantura menyebut ini proyek swadaya antiabrasi. Tapi, proyek Rp 15 miliar dibikin swadaya? Akal sehat pun protes keras.

Penyidikan akhirnya menyeret Kades Kohod, Arsin bin Asip, dan tiga perangkat desa, dituduh memalsukan dokumen untuk 263 sertifikat SHGB dan SHM di wilayah laut—jelas melanggar UU Penataan Ruang. Tapi, benarkah hanya mereka otaknya? Sertifikat ilegal ini melibatkan PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa, yang terkait nama besar seperti Sugianto Kusuma (Aguan). Hingga Mei 2025, Bareskrim Polri tak kunjung menyentuh korporasi atau pejabat tinggi. Malah, keempat tersangka dilepas dengan penangguhan penahanan pada April 2025. Ini seperti menangkap pencuri ikan kecil, tapi membiarkan kapal penyedot ikan raksasa leluasa.

Baca Juga  Menimbang Efektivitas Kenaikan Gaji Hakim Untuk  Cegah Korupsi

Jaring Oligarki di Balik Pagar Laut
Kasus ini bukan ulah kades semata. Ada bayang-bayang oligarki yang bermain rapi:

  • Kekuatan Modal: Pagar laut bukan proyek receh piece of cake. Skala dan dana Rp 15 miliar menunjukkan keterlibatan korporasi besar, seperti PT Intan Agung Makmur, yang dikaitkan dengan pengusaha kelas kakap. Nama Freddy Numberi dan Nono Sampono, mantan pejabat tinggi, muncul sebagai petinggi perusahaan ini. Proyek sebesar ini mustahil tanpa restu elit berduit.
  • Koneksi Birokrasi: Penerbitan 263 sertifikat di laut, yang dilarang UU, tak mungkin terjadi tanpa campur tangan pejabat tinggi ATR/BPN. Pemecatan enam pejabat cuma menyentuh level menengah, tapi dugaan keterlibatan hingga level kementerian tak diusut. Ini menunjukkan jaringan oligarki yang mampu memengaruhi birokrasi.
  • Celah Kebijakan: UU Cipta Kerja jadi pintu masuk bagi oligarki untuk mengeksploitasi laut. Pakar hukum lingkungan, I Gusti Agung Made Wardana, menyebut regulasi ini mempermudah privatisasi sumber daya publik, menguntungkan segelintir elit.
  • Manipulasi Hukum: Penyidikan yang mandek, penolakan pasal korupsi oleh Bareskrim, dan penangguhan penahanan tersangka menunjukkan kemungkinan tekanan dari elit berkuasa. Oligarki, dengan jaringan politik dan finansial, tampaknya mampu menahan laju penegakan hukum.

Ketimpangan Struktural dan Negara yang Tunduk
Kasus pagar laut bukan sekadar skandal lokal, tapi cerminan penyakit sistemik: negara yang tunduk pada oligarki. Hukum di Indonesia sering kali jadi alat pelindung elit, bukan keadilan rakyat.

  • Hukum yang Pilih Kasih: Fokus pada perangkat desa sebagai tersangka, sembari mengabaikan korporasi dan pejabat tinggi, menunjukkan hukum yang pincang. Mahfud MD menuding penegakan hukum mandek, hanya menjadikan kades sebagai tumbal. Ini bukan kebetulan, tapi pola lama: elit besar dilindungi, rakyat kecil jadi kambing hitam.
  • Privatisasi Laut sebagai Gejala Kapitalisme Kronisme: Pagar laut adalah upaya privatisasi laut—milik publik—untuk kepentingan segelintir orang. Susan Herawati dari Kiara menyebut ini bagian dari kapitalisme kronisme, di mana pengusaha besar dan pejabat bersekongkol menguasai sumber daya alam. UU Cipta Kerja, yang melemahkan tata ruang, jadi alat utama pola ini.
  • Pemerintah yang Lemah: Perintah Presiden Prabowo membongkar pagar pada Januari 2025 patut diacungi jempol, tapi tanpa pengusutan aktor utama, ini cuma aksi kosmetik. Kegagalan KPK mengambil alih kasus, meski ada indikasi korupsi, menunjukkan lemahnya komitmen antikorupsi di hadapan oligarki.
  • Dampak Sistemik: Kasus serupa di Bekasi dan Makassar menunjukkan ini bukan insiden terisolasi, tapi pola nasional. Jika dibiarkan, oligarki akan terus menggerogoti sumber daya publik, memperlebar jurang ketimpangan antara elit dan rakyat. Nelayan, yang sudah kehilangan Rp 7,7 miliar per bulan, jadi korban nyata sistem ini.
Baca Juga  Pertemuan Para Naga dan Prabowo: Antara Kemandirian Ekonomi dan Kepentingan Oligarki

Kejaksaan Agung menemukan indikasi suap dan gratifikasi, tapi Bareskrim ogah menerapkan pasal korupsi. Mengapa? Apakah ada tangan-tangan besar yang melindungi? Walhi dan IOJI (Indeonesian Ocean Justice Initiative) berteriak: ini bukan cuma pemalsuan dokumen, tapi perampokan laut yang dirancang rapi. Kepercayaan publik pada hukum makin luntur, dan laut yang seharusnya jadi warisan rakyat kini jadi mainan elit.

Sudah saatnya hukum berhenti menjaring teri dan berani menangkap kakap. Kejaksaan, KPK, dan pemerintah harus telusuri aliran dana, buka tabir korporasi, dan usut pejabat yang bermain. Jika tidak, pagar laut berikutnya bukan cuma bambu, tapi tembok kekuasaan yang tak bisa lagi dibongkar. Laut adalah milik rakyat, bukan oligarki. Saatnya negara membuktikan itu.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *