Aktivis Desak Negara Usut Tuntas Kasus Penculikan 1997-1998 dan Pemerkosaan Massal Mei 1998

Aktivis Desak Negara Usut Tuntas Kasus Penculikan 1997-1998 dan Pemerkosaan Massal Mei 1998
Advertisements


MAKNews, Jakarta– Bertepatan dengan peringatan peristiwa 27 Juli 1996 atau “Kudatuli”, Forum Alumni Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Pergerakan Demokratik dari berbagai kota menuntut negara untuk segera menuntaskan kasus penculikan aktivis 1997-1998, pemerkosaan massal Mei 1998, serta kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu lainnya. Tuntutan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Minggu (27/7/2025).


Penyampaian pernyataan sikap serupa juga dilakukan di sejumlah kota lain, termasuk Magelang, Surabaya, Palembang, Samarinda, Makassar, Kendari, dan Kupang. Meskipun desakan untuk mengusut tuntas dan menyeret para pelaku kejahatan kemanusiaan ke Pengadilan HAM Ad Hoc terus bergema, pemerintah hingga kini belum menunjukkan tindakan nyata. Berbagai tragedi kemanusiaan tersebut disebut-sebut tidak pernah diselesaikan, bahkan cenderung dipetieskan.


“Ketika kejahatan HAM tidak pernah diusut tuntas, bahkan para pelakunya mendapatkan impunitas dari negara, maka luka kolektif bangsa ini akan terus menganga lebar. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia juga tidak akan pernah maju,” kata Ririn Sefsani, mantan aktivis PRD, di kantor YLBHI.


Ironisnya, dalam kasus tragedi Mei 1998 yang menelan banyak korban, negara melalui pejabatnya justru berusaha menyangkalnya. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, secara terang-terangan menyebut pemerkosaan massal pada Mei 1998 sebagai rumor belaka. Pernyataan Fadli Zon ini bertentangan dengan hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Wiji Thukul, Bimo Petrus, Herman Hendrawan dan Suyat (Aktivis PRD) korban penculikan yang belum kembali

Berdasarkan investigasi TGPF, kekerasan seksual yang terjadi mencakup 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dan penganiayaan, 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Kasus-kasus tersebut ditemukan di beberapa kota, termasuk Jakarta, Medan, dan Surabaya. Sementara itu, Tim Relawan untuk Kemanusiaan mengungkap lebih dari 150 kasus kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, termasuk korban yang meninggal. Korban perempuan dalam peristiwa ini, terutama berasal dari etnis Tionghoa.


Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik menyatakan bahwa kasus penculikan aktivis, tragedi Mei 1998, dan peristiwa pemerkosaan massal adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) yang direncanakan secara sistematis, terstruktur, dan masif. Rezim fasis totaliter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dianggap harus bertanggung jawab atas tragedi ini.

Baca Juga  Cacatan Kritis terhadap Asta Cita Prabowo-Gibran


Zainal Muttaqin, alumni PRD yang kini bergiat di Ikatan Kemanusiaan untuk Korban Penghilangan Paksa Indonesia (IKOHI), menyatakan bahwa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun mengekang ruang demokrasi rakyat Indonesia, membungkam kritik, dan berupaya melenyapkan semua perlawanan. “Kala itu, rakyat yang berlawan harus berhadapan dengan moncong senjata. Penindasan merajalela. Kemiskinan rakyat merebak di mana-mana. Kebodohan bangsa dipelihara,” kata Jejen, panggilan akrab Zainal Muttaqin.


Di masa itu, para aktivis penentang Orde Baru mendapatkan represi brutal dan keji. Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang menyatakan perang terbuka terhadap rezim Orde Baru, menjadi buruan utama. Para aktivis PRD dan kelompok demokratik lain menjadi target, ditangkap, diadili, dikirim ke penjara dengan tuduhan subversif, bahkan banyak yang diculik dan dihilangkan secara paksa. Hingga saat ini, masih ada 13 aktivis yang hilang, di antaranya Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Noval Al Katiri, Sonny, Dedi Hamdun, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail. Satu lagi, Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang, ditemukan tewas di Hutan Watu Ploso, Magetan.


Meskipun rezim silih berganti, keadilan bagi para korban dan keluarga mereka tidak pernah datang. Banyak janji disampaikan, namun tidak ada penyelesaian yang terwujud, bahkan kasus kejahatan HAM dibiarkan begitu saja.


Kini, kekuasaan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka justru hendak menghapuskan sejarah kelam itu. Dipimpin Fadli Zon, pemerintahan Prabowo-Gibran berupaya menghapus kejahatan rezim Orde Baru dengan menulis ulang sejarah versi mereka. Terindikasi, kasus penculikan aktivis 1997-1998 serta pemerkosaan massal Mei 1998 akan dihilangkan dari sejarah yang hendak ditulis ulang.


Prabowo Subianto, yang kerap disebut berada dalam pusaran kasus penculikan dan tragedi 1998, kini memilih bersembunyi di balik para aktivis yang pernah diculik Tim Mawar Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, yang dulu dipimpinnya. Dengan cara ini, Prabowo berharap masyarakat akan melupakan tragedi memilukan itu. Prabowo memilih diam dan tidak menuntaskan kasus tersebut. Memori kolektif rakyat juga berusaha dihilangkan dengan memberikan jabatan kepada sejumlah bekas aktivis yang pernah menjadi korban penculikan, ada yang menjadi wakil menteri, ada juga yang mendapat jabatan kepala badan di jajaran Kabinet Merah Putih.

Baca Juga  Universitas Columbia Beri Sanksi kepada Mahasiswa Pro-Palestina


Wahyu Susilo, adik penyair Wiji Thukul yang masih hilang diculik, mengatakan bahwa selama puluhan tahun kebenaran tidak pernah diungkap, pelaku pelanggaran HAM tidak pernah diadili, sedangkan korban dan keluarganya dibiarkan memikul beban trauma masa lalu tanpa penyelesaian dan pemulihan yang adil


Atas kondisi tersebut, Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik menyatakan solidaritasnya untuk seluruh korban penculikan, korban pemerkosaan massal Mei 1998, serta korban pelanggaran HAM berat lain di masa Orde Baru. “Kami menyampaikan pernyataan sikap, menyatakan solidaritas, duka mendalam, dan kemarahan atas berbagai bentuk kekerasan negara yang dilakukan melalui penculikan aktivis pro-demokrasi, serta korban pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998,” tegas Roni R, mantan aktivis PRD lainnya.

Petrus H Hariyanto, mantan Sekjend I PRD menyerukan bahwa kasus penculikan tidak ada kadaluwarsanya.


Berdasarkan konstitusi serta peraturan perundang-undangan terkait HAM, aktivis yang terdiri dari mantan anggota PRD serta aktivis lain dari beragam latar belakang, menyatakan sikap dan menuntut kepada negara untuk:


Membuka kembali penyelidikan dan penyidikan secara independen dan transparan atas kasus penculikan aktivis 1997-1998, serta membuka kembali penyelidikan dan penyidikan secara independen dan transparan atas peristiwa pemerkosaan massal dan kekerasan seksual Mei 1998. “Kami menuntut pengusutan atas keterlibatan tokoh-tokoh militer dan sipil yang selama ini dilindungi oleh kekuasaan negara, dengan basis fakta adanya operasi dan eksekusi oleh Tim Mawar Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD,” kata Muhammad Irfan, juru bicara Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik.


Merealisasikan rekomendasi secara utuh dan lengkap atas hasil penyelidikan Komnas HAM dan investigasi atau penyelidikan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).


Mendesak pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc terkait kejahatan hak asasi manusia (HAM) serta menjamin keadilan transisional yang menyeluruh bagi korban dan keluarga korban.


Menjamin hak atas pemulihan yang layak dan bermartabat bagi penyintas kekerasan seksual dan keluarga korban penghilangan paksa, termasuk restitusi, rehabilitasi psikososial, dan pengakuan negara.


“Kami juga menyerukan agar tidak terulang lagi praktik kekuasaan represif dengan menggunakan kekuatan militer, serta menjalankan kekuasaan yang anti-demokrasi di era reformasi ini,” tegas Forum Alumni PRD dan Pergerakan Demokratik.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *