MAKNews – Kasus Laras Faizati menjadi sorotan karena kecepatan aparat menindak unggahan media sosial seorang perempuan muda yang marah di tengah situasi politik panas 2025. Laras ditangkap hanya beberapa jam setelah menulis kalimat bernada keras terkait aksi protes nasional. Unggahan itu dianggap sebagai “penghasutan untuk membakar Mabes Polri”, meski tidak ada aksi nyata yang terjadi setelahnya.
Menurut laporan ANTARA (4 September 2025), Laras ditetapkan sebagai tersangka hanya beberapa jam setelah unggahannya menjadi viral. Tidak ada proses klarifikasi, tidak ada pemanggilan awal, dan tidak ada ruang bagi Laras untuk menjelaskan konteks ucapannya. Keluarga menyebut proses itu “terburu-buru dan tidak transparan.”
Tak hanya ditangkap, Laras juga langsung kehilangan pekerjaannya di lembaga regional ASEAN. Menurut laporan SCMP, pemecatan dilakukan sebelum Laras sempat membela diri. Hal ini memunculkan kritik bahwa negara dan institusi bergerak terlalu cepat menghukum, dibanding memastikan proses yang adil.
Tim kuasa hukum Laras sempat mengajukan restorative justice, dengan alasan bahwa unggahan tersebut tidak memicu kerusuhan atau aksi apa pun. ANTARA melaporkan bahwa tidak ada korban dan tidak ada kerusakan yang timbul dari pernyataan Laras.
Dari balik tahanan, Laras menulis surat yang kemudian dipublikasikan oleh Kumparan. Ia menggambarkan dirinya sebagai bagian dari generasi muda yang dikriminalisasi hanya karena bersuara. Surat itu memicu solidaritas publik dan petisi online yang menilai kasus Laras sebagai bukti lemahnya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
Kasus Laras kini menjadi simbol kritik terhadap praktik penegakan hukum yang dinilai tidak proporsional. Bagi banyak orang, persoalan ini bukan hanya soal satu unggahan — melainkan soal bagaimana negara memperlakukan warganya yang berani berbicara.

