Tragedi kemanusiaan dan ekologis yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada akhir November 2025 lalu adalah cerminan kegagalan sistemik. Ini bukan hanya masalah curah hujan, melainkan sebuah bencana ekologis struktural yang diakibatkan oleh kolaborasi kebijakan yang permisif dengan kepentingan korporasi eksploitatif. Bencana ini adalah harga mati yang harus dibayar rakyat atas pengorbanan lingkungan demi kepentingan segelintir elite bisnis-politik.
Akar Bencana: Kejahatan Perizinan Negara
Penyebab utama bencana ini adalah legalisasi kehancuran benteng ekologis melalui skema perizinan konsesi yang secara sadar mengizinkan deforestasi di wilayah yang seharusnya menjadi jantung konservasi dan kawasan lindung, yaitu hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pegunungan Bukit Barisan.
1. Fasilitator Utama: Negara dan Kebijakan Eksploitatif
Negara, melalui kewenangan penerbitan izin HGU, IUP, dan PBPH, telah bertindak sebagai fasilitator utama. Perizinan ini menjadi payung hukum bagi korporasi—mulai dari sawit skala besar, pertambangan, hingga proyek infrastruktur ekstraktif—untuk mengalihfungsikan hutan menjadi lahan tandus.
2. Afiliasi Bisnis-Politik yang Kebal Hukum
Banyak dari konsesi masif ini diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar yang memiliki afiliasi atau kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, termasuk perusahaan-perusahaan yang terkait dengan elit politik yang berkuasa. Kedekatan ini menciptakan kondisi impunitas, di mana korporasi perusak lingkungan merasa kebal dari sanksi hukum, bahkan setelah bencana yang jelas-jelas terkait dengan aktivitas mereka. Negara gagal melindungi lingkungan hidup, justru mengamankan keuntungan bisnis.
3. Kehilangan Fungsi Ekologis
Hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap dan penahan air mengakibatkan tanah menjadi gembur dan rawan erosi. Ketika curah hujan ekstrem tiba, tidak ada lagi benteng vegetasi untuk menahan volume air, lumpur, dan material longsor, yang pada akhirnya membawa kehancuran masif ke wilayah hilir.
Sanksi Tegas dan Audit Independen: Mempidanakan Perusakan
Untuk memutus rantai bencana ini, langkah-langkah penegakan hukum dan sanksi harus dijalankan secara radikal dan non-diskriminatif.
1. Audit Forensik Independen
Pemerintah harus segera membentuk Tim Audit Forensik Ekologis Independen yang beranggotakan pakar, akademisi, dan masyarakat sipil. Tim ini harus diberikan mandat penuh untuk:
- Melakukan audit total terhadap seluruh izin konsesi di kawasan bencana dan hulu DAS.
- Mengidentifikasi secara spesifik perusahaan mana yang kegiatannya terbukti secara kausalitas berkontribusi pada kerentanan dan pemicu bencana (banjir bandang/longsor).
2. Sanksi Hukum dan Pencabutan Izin
Berdasarkan temuan audit independen, negara harus bertindak tegas:
- Pencabutan Izin Permanen: Semua izin konsesi yang terbukti melanggar tata ruang, berada di kawasan lindung, atau berkontribusi pada bencana wajib dicabut tanpa kompensasi.
- Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata: Direksi perusahaan dan pejabat yang terlibat dalam penerbitan izin bermasalah harus menghadapi tuntutan pidana yang serius. Korporasi harus menanggung biaya penuh untuk pemulihan ekosistem dan kompensasi kerugian sosial-ekonomi masyarakat korban.
Solusi Jangka Panjang: Moratorium Deforestasi Total
Mengatasi akar masalah memerlukan perubahan paradigma kebijakan yang fundamental dan menghentikan kerusakan secara permanen.
1. Moratorium Total Deforestasi dan Konversi Lahan
Presiden harus segera mengeluarkan Kebijakan Moratorium Total Deforestasi dan Konversi Lahan Hutan Alam di seluruh Sumatera, khususnya di kawasan Ekosistem Bukit Barisan dan semua hulu DAS. Moratorium ini tidak boleh hanya berupa pembekuan perizinan baru, tetapi juga peninjauan ulang dan penghentian operasi di kawasan vital yang telah rusak.
2. Restorasi Ekosistem Berkeadilan
Prioritas harus dialihkan dari eksploitasi menuju restorasi ekosistem. Program reforestasi harus diserahkan kepada masyarakat adat dan lokal, yang secara historis terbukti lebih efektif dalam menjaga hutan. Ini harus didukung dengan penguatan hak-hak masyarakat adat atas wilayah kelola mereka.
3. Revisi Tata Ruang Berbasis Risiko
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus direvisi total, menempatkan daya dukung lingkungan dan peta risiko bencana sebagai parameter utama, jauh di atas kepentingan investasi. Tidak ada lagi pembangunan ekstraktif di kawasan rawan bencana.
Bencana di Sumatera adalah peringatan keras terakhir. Jika negara tetap gagal menerapkan sanksi tegas, melakukan audit independen, dan menghentikan deforestasi total, maka setiap hujan yang turun di Sumatera hanya akan menjadi penghantar duka dan kematian yang berulang. Kedaulatan ekologis harus ditegakkan demi keselamatan rakyat.

