Mentan Tuntut Tempo 200 M

Mentan Tuntut Tempo 200 M

MAKNews, Jakarta – Kisruh hukum antara Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman dan majalah berita Tempo bukan sekadar sengketa berita biasa. Ini adalah drama berulang yang menguji kematangan demokrasi Indonesia: sejauh mana pejabat publik bisa menerima kritik keras, dan seberapa kuat benteng kebebasan pers kita bertahan.

Gugatan perdata Mentan terhadap Tempo, yang menuntut ganti rugi hingga Rp 200 Miliar terkait pemberitaan “Poles-poles Beras Busuk,” telah menjadi sorotan tajam.

Tagih Ganti Rugi Rp 200 Miliar: Intimidasi atau Penegakan Nama Baik?

Di satu sisi, pejabat publik tentu memiliki hak untuk membela nama baiknya jika merasa dirugikan oleh pemberitaan yang dianggap tidak akurat. Namun, penggunaan gugatan perdata dengan nilai tuntutan yang sangat fantastis menimbulkan pertanyaan besar: Apakah tujuan utamanya adalah mendapatkan keadilan, atau justru membungkam kritik.

Nilai tuntutan ratusan miliar rupiah ini seringkali memicu apa yang disebut “Chilling Effect”—sebuah efek dingin yang menakutkan media lain. Efek ini membuat para jurnalis dan penerbit menjadi ragu-ragu dan cenderung berhati-hati (bahkan menahan diri) untuk memberitakan isu sensitif atau kritik tajam terhadap kekuasaan, karena takut menghadapi risiko finansial yang menghancurkan.

“Pejabat publik harus punya kulit yang lebih tebal (a thicker skin) terhadap kritik. Mereka mengelola uang rakyat, maka kritik adalah risiko jabatan yang wajib diterima.”

Kunci Jawaban Ada di Dewan Pers

Penting untuk dicatat, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menolak gugatan awal Mentan. Alasan penolakan PN Jaksel sangat fundamental: sengketa pers harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers terlebih dahulu.

Undang-Undang Pers secara tegas menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari konten jurnalistik (lex specialis). Putusan PN Jaksel ini menegaskan kembali prinsip bahwa:

Baca Juga  Pemerintah Berencana Revisi RUU Sisdiknas: Guru PAUD Bakal Jadi Profesional

Gugatan Hukum adalah Pilihan Terakhir: Sebelum menggugat ke pengadilan, pejabat publik wajib menempuh jalur mediasi, hak jawab, atau koreksi melalui Dewan Pers.

Kemandirian Pers Dilindungi: Pengadilan menolak menjadi alat penekan, dan justru mendorong penyelesaian yang lebih normatif dan sesuai etika profesi.

Absurditas dan Arogansi: Pejabat yang Alergi Kritik

Langkah Mentan mengajukan Banding, setelah gugatannya ditolak oleh pengadilan, memperkuat pandangan bahwa jalur hukum ini lebih cenderung sebagai upaya penekanan berkelanjutan ketimbang upaya mencari keadilan.

Dalam konteks demokrasi, sikap pejabat yang alergi pada pemberitaan kritis menjadi absurd dan memperlihatkan arogansi kekuasaan.

Absurditas Etika Demokrasi: Mandat pejabat publik berasal dari rakyat. Menolak kritik sama artinya menolak mekanisme pengawasan yang merupakan hak fundamental rakyat. Ini adalah kontradiksi logis terhadap tugas melayani publik.

Arogansi Kekuasaan: Penggunaan instrumen hukum dengan tuntutan finansial masif (Rp 200 Miliar) tidak dilihat sebagai pembelaan diri yang proporsional, melainkan sebagai upaya untuk menggunakan kekuatan finansial dan jabatan untuk mengintimidasi dan mendominasi ruang publik.

Konflik Mentan vs. Tempo adalah cermin bahwa transisi demokrasi kita masih menghadapi tantangan besar. Pejabat publik perlu menyadari bahwa kritik adalah vitamin, bukan racun. Ketika seorang Menteri memilih melawan kritik melalui tuntutan perdata yang masif, publik akan membaca tindakan itu sebagai kegagalan mengelola reputasi secara dewasa.

Pada akhirnya, putusan pengadilan tinggi terhadap banding Mentan akan menjadi tonggak penting. Apakah ia akan memperkuat peran pengawasan pers, atau justru membuka pintu bagi pejabat publik lain untuk menggunakan tuntutan hukum bernilai fantastis demi membungkam suara-suara kritis di masa depan?***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *