MAKNews.com, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Ristadi, menyuarakan kekhawatiran serius terkait belum disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Upah Minimum tahun 2026. Padahal, aturan ini sangat krusial sebagai pedoman bagi Dewan Pengupahan daerah dalam merumuskan kenaikan upah, yang seharusnya sudah berlaku efektif pada 1 Januari 2026.
Ristadi mengungkapkan bahwa sejak akhir November, ia telah menerima informasi bahwa PP yang mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan prinsip disparitas upah antar daerah telah selesai di tingkat kementerian terkait dan sudah diserahkan kepada Presiden untuk disahkan. Namun, hingga kini, kepastian pengesahan tersebut masih misterius, sementara waktu semakin mendesak.
“Waktu semakin mepet ke tanggal 1 Januari 2026, tapi belum juga disahkan PP Upah Minimum tersebut,” ujar Ristadi dalam siaran persnya.
Kecurigaan ‘Buying Time’ dan Potensi Keputusan Presiden Sama Rata
Keterlambatan ini, kata Ristadi, menimbulkan kecurigaan bahwa ada pihak-pihak di sekitar Presiden yang sengaja “buying time” atau mengulur waktu. Skenarionya, penundaan ini akan berujung pada pengambilalihan keputusan kenaikan Upah Minimum secara langsung oleh Presiden melalui hak diskresinya.
Menurut Ristadi, hak diskresi Presiden dapat digunakan dengan alasan waktu yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pembahasan dan perundingan di daerah-daerah. Keputusan ini kemungkinan hanya akan melibatkan negosiasi antara Presiden dengan segelintir pimpinan buruh yang berkepentingan.
Dampak Buruk Diskresi Upah Minimum
Ristadi menegaskan bahwa meskipun hak diskresi dibolehkan, jika kembali digunakan untuk penetapan upah minimum, akan ada dampak negatif signifikan:
- Pengabaian Aturan Daerah: Secara de facto, kenaikan upah minimum diputuskan oleh Presiden, meskipun secara aturan yang berlaku, Gubernur-lah yang berhak memutuskan berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan daerah.
- Abaikan Rasionalitas Data: Keputusan berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip rasionalitas data dan tidak dapat dijelaskan secara kajian ilmiah, seperti yang ia contohkan terjadi pada kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 6,5%.
- Panggung ‘Entertain Politis’: Penetapan upah hanya akan menjadi panggung politik antara Presiden dan pimpinan buruh tertentu yang memiliki kepentingan politis.
- Disparitas Upah Meningkat: Jika Presiden menetapkan kenaikan dengan satu angka yang sama rata di seluruh Indonesia, maka kesenjangan upah minimum antar daerah (disparitas) justru akan semakin tinggi. “Ini tidak adil bagi pekerja dan tidak sehat untuk persaingan dunia usaha,” tegasnya.
Desakan Agar Presiden Segera Bertindak
Menyikapi situasi ini, Ristadi mendesak agar Presiden segera mengesahkan PP Upah Minimum yang telah disiapkan.
Ia juga meminta kepada para Menteri bidang ekonomi untuk tidak hanya pasif menunggu. “Saya juga meminta Menteri-menteri bidang ekonomi untuk tidak hanya sekedar menunggu saja, tapi ingatkan Presiden untuk segera mensyahkan aturan kenaikan upah minimum yang sesuai putusan MK dan mempertimbangkan disparitas upah antar daerah,” pungkas Ristadi.
Pengesahan PP ini penting agar aturan tersebut dapat segera dijadikan pedoman teknis yang memadai bagi pengkajian dan perumusan kenaikan upah minimum di masing-masing daerah secara objektif dan akomodatif sebelum batas waktu 1 Januari 2026.***
