Pada tahun 2012, UNESCO menganugerahkan status Warisan Budaya Dunia (WBD) kepada Lanskap Kultur Subak di Bali, dan salah satu permata utamanya adalah hamparan sawah terasering yang memukau di Jatiluwih, Tabanan. Pengakuan ini seharusnya menjadi berkah, sebuah jaminan abadi atas pelestarian budaya dan peningkatan kesejahteraan. Namun, hari-hari ini, Jatiluwih justru menjadi panggung konflik yang menyingkap ironi pahit: status dunia tersebut kini terasa seperti beban yang memiskinkan para penjaga warisan itu sendiri—para petani lokal.
Kontradiksi dalam “Tri Hita Karana”
Inti dari Subak dan kehidupan petani Bali adalah filosofi Tri Hita Karana—tiga pilar harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Ironisnya, konflik yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa pilar keseimbangan ekonomi (kesejahteraan Pawongan) telah runtuh akibat penegakan pilar konservasi alam (pelestarian Palemahan) yang kaku dan tidak adaptif.
Konflik meletus pada Juli 2024 ketika Satpol PP Provinsi Bali menyegel warung-warung kecil milik petani di sawah. Penyegelan ini didasarkan pada penegakan Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang yang melindungi kawasan WBD sebagai zona hijau yang melarang alih fungsi lahan.
Perekonomian yang Berbanding Kurus dan Beban PBB
Analisis menunjukkan bahwa masalah utamanya adalah disparitas ekonomi. Status WBD memang menarik turis, meningkatkan pendapatan daerah, dan melambungkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sawah. Namun, kenaikan NJOP ini berdampak pada melonjaknya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dibayar petani—sebuah beban yang tidak sebanding dengan pendapatan bersih dari hasil bertani beras merah.
Petani di Jatiluwih merasa terperangkap: mereka dipaksa secara ekonomi untuk membuka usaha pariwisata skala mikro (warung) hanya untuk bertahan hidup. Ketika usaha ini disegel, mereka merasa dianaktirikan. Protes petani dengan menutup sawah mereka menggunakan seng dan plastik hitam adalah sebuah “protes bisu” yang keras, penegasan bahwa jika mereka tidak bisa hidup layak dari hasil menjaga keindahan WBD, mereka akan mengambil kembali keindahan itu dari mata wisatawan.
Solusi Jangka Pendek: Penggratisan PBB, Apakah Cukup?
Menanggapi tekanan publik, Pemerintah Kabupaten Tabanan berjanji akan menggratiskan PBB sawah bagi petani, serta menjamin pembelian gabah dengan harga yang baik. Langkah ini adalah solusi jangka pendek yang vital dan perlu diapresiasi karena:
* Meringankan Beban Langsung: Penggratisan PBB menghilangkan salah satu biaya wajib terbesar dan memberikan rasa keadilan.
* Mencegah Alih Fungsi Lahan: Ini mengurangi tekanan finansial yang memaksa petani menjual sawahnya kepada investor.
Namun, penggratisan PBB saja belum memadai untuk mencapai kesejahteraan yang berbanding lurus dengan status WBD. Mengapa?
Penggratisan PBB hanya mengatasi beban pengeluaran, tetapi tidak secara signifikan meningkatkan pendapatan petani. Petani masih akan terdorong mencari sumber uang tunai yang lebih besar untuk kebutuhan hidup modern (pendidikan, kesehatan) yang tidak mampu ditutupi hanya dari hasil panen. Selama keuntungan terbesar dari pariwisata Jatiluwih (tiket masuk, retribusi) tidak mengalir langsung ke kantong petani, mereka akan tetap terpisah dari rantai nilai ekonomi WBD.
Solusi Jangka Panjang: Mengubah Beban Menjadi Aset
Agar status WBD benar-benar berbanding lurus dengan kesejahteraan petani, diperlukan pergeseran paradigma dari pelestarian fisik semata menjadi ekonomi konservasi yang berbasis komunitas.
1. Keadilan Ekonomi dan Insentif Langsung
Pemerintah wajib melengkapi kebijakan PBB gratis dengan skema pendapatan langsung:
* Pembayaran Jasa Ekologis: Sebagian besar pendapatan dari tiket masuk wisatawan harus dialokasikan langsung ke kas Subak/BUMDes untuk dibagikan sebagai Jasa Lingkungan atas upaya petani memelihara bentang alam WBD.
* Branding Produk Premium: Memberikan label “Certified UNESCO Subak Rice” untuk beras merah Jatiluwih dan membelinya dengan harga premium yang didanai dari retribusi wisata, menjadikan konservasi sebagai bisnis yang menguntungkan.
2. Regulasi yang Adaptif dan Pro-Subak
Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang mengizinkan pariwisata mikro berbasis budaya yang dikelola oleh komunitas, tanpa mengganggu zona inti sawah (LSD).
* Kemitraan Usaha Subak: Subak harus diakui sebagai manajer utama pengembangan pariwisata di areanya, mengelola warung-warung kuliner tradisional skala sangat kecil (misalnya, bangunan bambu yang mudah dibongkar) yang hanya menjual produk pertanian lokal di zona penyangga.
* Pengalaman Agrowisata: Mengembangkan paket wisata yang mewajibkan turis berinteraksi dan membayar langsung petani sebagai pemandu budaya untuk mempelajari Subak dan menanam padi, sehingga petani mendapatkan upah/honor sebagai penjaga dan pencerita warisan.
Konflik di Jatiluwih adalah alarm yang harus didengar seluruh Indonesia: Warisan Budaya Dunia hanya akan lestari jika masyarakat adat, sebagai penjaga utamanya, diberi ruang yang adil untuk mencari nafkah dari warisan itu sendiri. PBB gratis menjaga petani agar tidak bangkrut; tetapi skema insentif ekonomi pariwisata yang adil-lah yang akan membuat mereka sejahtera dan bersemangat melanjutkan tradisi Subak.***
