Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di bawah Kabinet Merah Putih telah disajikan kepada publik dengan narasi yang sarat kebanggaan dan data pencapaian yang memukau.
Penerus Jokowi
Kebijakan di tahun pertama pemerintahan Prabowo didominasi oleh kesinambungan program-program strategis yang telah dirintis atau menjadi warisan dari era Jokowi:
- Infrastruktur dan Ibu Kota Nusantara (IKN): Komitmen untuk melanjutkan dan mempercepat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap menjadi salah satu prioritas utama. Ini adalah kebijakan warisan yang paling terlihat dan memerlukan dukungan politik serta anggaran yang besar dari pemerintahan saat ini.
- Hilirisasi dan Industrialisasi: Strategi hilirisasi komoditas dan industrialisasi, yang menjadi legacy ekonomi utama Jokowi, secara tegas dilanjutkan dan ditegaskan sebagai program sinergi untuk masa depan Indonesia.
- Stabilitas Makroekonomi: Presiden Prabowo sendiri mengakui bahwa keberhasilan menjaga inflasi tetap rendah di sekitar 2% adalah berkat teknik pengendalian yang dirintis oleh pemerintahan sebelumnya. Program sosial seperti PKH (Program Keluarga Harapan) dan KIP Kuliah (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) yang ditekankan oleh Jokowi juga terus dilaksanakan.
Stabilitas Makro dan Program Unggulan: Klaim Kecepatan
Pemerintah berfokus pada kecepatan implementasi program dan stabilitas ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan. Dalam konteks ekonomi makro, pemerintah berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi di sekitar 5% (year-on-year), yang diklaim sebagai salah satu yang tertinggi di antara negara-negara G20 di tengah ketidakpastian global. Stabilitas harga juga terjaga dengan baik, dengan inflasi yang rendah di sekitar 2,65%.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah mengumumkan capaian positif dengan turunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi 4,76% per Februari 2025, yang diklaim sebagai titik terendah sejak krisis 1998. Kesejahteraan pekerja juga diupayakan melalui kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) rata-rata sebesar 6,5%. Kenaikan ini, secara matematis, melampaui tingkat inflasi, mengindikasikan adanya pertumbuhan Upah Riil yang positif.
Program unggulan utama, Makan Bergizi Gratis (MBG), menjadi fokus besar. Pemerintah melaporkan bahwa program ini telah menjangkau 36,7 juta penerima manfaat, dengan total 1,41 miliar porsi makanan yang telah dibagikan. Angka ini seringkali ditekankan sebagai bukti keberhasilan logistik dan komitmen sosial pemerintah.
Kontras di Sektor Riil
Namun, di balik angka-angka optimistis tersebut, muncul nada-nada kritis dari masyarakat sipil, akademisi, dan serikat pekerja, yang seringkali direspons secara sensitif oleh elite pemerintah. Hal ini menimbulkan ironi: pujian yang berlebihan menciptakan zona nyaman yang rentan terhadap penyimpangan, sementara kritik yang sumbang justru menjadi rambu-rambu esensial dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan berorientasi pada keadilan.
Meskipun data makro menunjukkan stabilitas, kritik muncul karena indikator positif tersebut gagal menutupi persoalan struktural dan ketimpangan dalam implementasi program di lapangan.
Gelombang PHK dan Gulung Tikar Industri
Di tengah klaim perbaikan ketenagakerjaan, sektor formal, terutama industri padat karya, justru menghadapi tekanan berat. Data menunjukkan bahwa sekitar 54.252 pekerja terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dari 81 perusahaan hingga Agustus 2025. Sektor Industri Pengolahan—terutama tekstil, alas kaki, dan elektronik—menjadi yang paling terpukul.
Fenomena ini diperparah dengan penutupan pabrik besar. Contohnya, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Group melakukan PHK terhadap sekitar 10.669 karyawan setelah dinyatakan pailit. Dua pabrik Yamaha Music dan PT Sanken Indonesia juga mengumumkan penutupan operasional dan relokasi produksi ke luar negeri, yang mengancam lebih dari seribu pekerja kehilangan mata pencaharian.
Dalam konteks ini, kenaikan UMP 6,5% menjadi tidak relevan bagi puluhan ribu pekerja yang kehilangan pekerjaan. Selain itu, meskipun TPT menurun, hal itu dibarengi dengan peningkatan proporsi pekerja di sektor informal hingga 59,4%, mengindikasikan bahwa lapangan kerja yang tercipta bersifat rentan dan kurang terjamin.
Masalah Kualitas Program Sosial dan Kesenjangan Struktural
Program sosial dan sektor pendidikan dasar juga menjadi sasaran kritik utama:
- Kasus Keracunan MBG: Di tengah masifnya program MBG, terdapat sekitar 8.000 kasus keracunan makanan yang menimpa siswa. Meskipun Presiden Prabowo mengklaim persentase ini hanya 0,0007% dan masuk dalam “koridor eror yang manusiawi,” respons ini dikritik karena mengaburkan esensi masalah. Ribuan anak yang sakit adalah indikasi kegagalan serius dalam pengawasan mutu, higienitas, dan rantai pasok lokal. Menggunakan statistik untuk membenarkan masalah kualitas menunjukkan bahwa euforia kecepatan implementasi mengabaikan aspek kualitas.
- Kesejahteraan Guru dan Sekolah: Data ekonomi yang stabil tidak berbanding lurus dengan realitas di sektor pendidikan dasar. Gaji guru honorer di banyak daerah masih jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), dengan minimnya jaminan sosial dan kerentanan terhadap pemutusan kontrak. Di banyak sekolah di pelosok, terjadi krisis kekurangan guru dan fasilitas yang memprihatinkan, menunjukkan bahwa agenda pemerataan kualitas pendidikan masih tertinggal jauh.
- Penilaian Kinerja dan Hukum: Sebuah survei expert judgment oleh CELIOS menunjukkan penilaian publik yang rendah terhadap kinerja pemerintahan, dengan Presiden Prabowo mendapat nilai rata-rata 3 dari 10. Di sektor hukum, kritik muncul mengenai kurangnya langkah strategis dalam pemberantasan korupsi dan isu impunitas, yang menimbulkan kekhawatiran terkait supremasi hukum yang adil.
Pencapaian makroekonomi dalam satu tahun ini adalah fondasi yang baik, tetapi menjadi rapuh jika pemerintah terus menampilkan sikap yang alergi terhadap kritik.
Pertumbuhan tinggi terasa timpang jika tidak mampu meredam gelombang PHK dan penutupan pabrik. Program sosial unggulan (MBG) terancam legitimitasnya jika kualitas dan keamanannya tidak terjaga, sebagaimana ditunjukkan oleh ribuan kasus keracunan. Kenaikan UMP pun terasa ironis di tengah nestapa guru honorer dan sekolah-sekolah di pelosok.
Prinsip dasar demokrasi mengajarkan bahwa pujian melahirkan peluang penyimpangan, sementara kritik mencegahnya. Pemerintah yang matang tidak hanya bangga pada data yang memuaskan, tetapi juga bersedia melihat data yang menyakitkan sebagai tugas yang mendesak untuk diselesaikan. Sikap tertutup terhadap kritik adalah ironi yang harus dihindari, sebab kritik adalah sistem peringatan dini yang memastikan bahwa program yang dijalankan benar-benar membawa manfaat substansial dan merata, tidak hanya sekadar euforia statistik di Istana.***
