MAKNews, Jakarta – Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, kembali menjadi sorotan setelah resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 16 Agustus 2025. Meski semula divonis 15 tahun penjara karena kasus megakorupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun, Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) memangkas hukumannya menjadi 12 tahun 6 bulan. Pemangkasan tersebut membuka jalan bagi Novanto untuk memperoleh pembebasan bersyarat lebih cepat dari yang diperkirakan publik.
Meski memenuhi kewajiban berupa denda Rp500 juta, uang pengganti Rp49 miliar, serta pencabutan hak politik 2,5 tahun, pembebasan ini dianggap melemahkan pesan efek jera bagi koruptor. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seorang terpidana kasus besar yang menimbulkan kerugian negara luar biasa bisa kembali menghirup udara bebas lebih cepat. Kritik juga menguat lantaran publik melihat pola “diskon hukuman” bagi koruptor besar semakin berulang, menimbulkan kesan hukum berpihak pada elit berkuasa dibanding rakyat kecil.
Novanto masih berstatus bebas bersyarat hingga 29 April 2029, dengan kewajiban rutin melapor ke Balai Pemasyarakatan setiap bulan. Namun, status ini tidak mengurangi kekecewaan publik yang menilai bahwa pembebasan dini mencederai semangat pemberantasan korupsi. Bagaimana mungkin seorang terpidana megakorupsi yang sempat melibatkan nama-nama besar dan menimbulkan kerugian triliunan rupiah justru mendapatkan keringanan yang begitu signifikan?.
Kuasa hukum Novanto berdalih bahwa pembebasan ini adalah hak setiap narapidana sesuai undang-undang. Namun, narasi “hak hukum” tersebut berhadapan dengan rasa keadilan masyarakat. Ketika banyak warga kecil kerap menjalani hukuman penuh atas pelanggaran sepele, pengurangan masa pidana bagi pelaku megakorupsi justru memperkuat anggapan bahwa hukum di Indonesia masih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.