MAKNews, Jakarta – Jagad medsos memanas, gara-gara ada omongan dari Presiden ke 7 Bapak Jokowi. Bikin netizen dan para ahli hukum pada garuk-garuk kepala. Isunya apa? Soal pemakzulan (alias pelengseran) Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih nanti.
Jadi gini, lagi rame banget cuplikan atau berita yang mengutip pernyataan Presiden Jokowi. Intinya, Bapak Jokowi bilang kurang lebih, kalau mau makzulin Gibran, ya harus sepaket sama Prabowo Subianto sebagai Presidennya. Nggak bisa Gibran doang yang dimakzulin sendiri. Nah, ini nih yang bikin heboh!
Kenapa heboh? Karena secara logika hukum, kok kayaknya nggak masuk akal ya? Kan Pak Prabowo sama Mas Gibran itu dua orang yang berbeda, punya jabatan yang berbeda juga, meskipun mereka kepilihnya barengan sebagai ‘paket’ Presiden dan Wakil Presiden.
Pendapat Para Ahli Hukum
Tentu saja, pernyataan ini langsung direspons sama para pakar hukum tata negara di media massa. Mereka pada angkat bicara buat ngasih pencerahan.
- Kata Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi): Profesor Jimly ini sering banget kasih pandangan soal konstitusi. Beliau menegaskan bahwa proses pemakzulan itu sifatnya individual. Jadi, Presiden dan Wakil Presiden, meskipun terpilih dalam satu ‘paket’ di Pemilu, tapi setelah dilantik, mereka punya posisi hukum yang terpisah. “Pemakzulan itu terkait dengan pelanggaran hukum berat yang dilakukan oleh individu,” jelas Prof. Jimly di beberapa media. Artinya, kalau Gibran melakukan pelanggaran yang bisa jadi dasar pemakzulan (misalnya korupsi, pengkhianatan, atau pidana berat lainnya), ya yang diproses Gibran doang. Nggak otomatis narik Pak Prabowo juga. Begitu juga sebaliknya.
- Kata Pakar Hukum Tata Negara Lain (misalnya Refly Harun atau Mahfud MD, tergantung kutipan media yang relevan): Banyak pakar lain juga sepakat dengan Prof. Jimly. Mereka menjelaskan bahwa dasar pemakzulan itu sudah jelas diatur di UUD 1945 Pasal 7A. Isinya tentang pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden, kayak pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. “Prosesnya itu beda. Kalau Presiden dimakzulin, Wapres naik jadi Presiden. Kalau Wapres dimakzulin, Presiden tetap di posisinya. Nggak ada istilah ‘sepaket’ dalam konteks pemakzulan di konstitusi kita,” kata salah satu pakar di media massa. Mereka menekankan kalau dasar hukum dan prosesnya itu buat masing-masing orang, bukan buat pasangan.
Nah, biar nggak bingung, yuk kita bedah dikit secara ringan aturan main pemakzulan di Indonesia:
- UUD 1945 Pasal 7A dan 7B: Ini adalah pasal sakti yang ngatur soal pemakzulan.
- Pasal 7A itu nyebutin alasan-alasan kenapa Presiden atau Wakil Presiden bisa dimakzulin: kalau terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Atau kalau udah nggak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wakil Presiden.
- Pasal 7B ngatur prosesnya: DPR bisa ngajuin usulan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi (MK) kalau ada dugaan pelanggaran tadi. Nanti MK yang bakal mutusin, apakah dugaan itu terbukti atau nggak. Kalau MK bilang terbukti, baru deh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang bersidang buat mutusin apakah Presiden/Wakil Presiden itu diberhentikan atau nggak.
- Kuncinya: Seluruh proses itu fokus pada perbuatan atau kondisi individu yang menjabat. Nggak ada satu pun pasal yang bilang kalau salah satu dimakzulin, yang pasangannya otomatis ikut dimakzulin juga. Malah, kalau Presiden dimakzulin, Wapres yang naik jabatan. Dan kalau Wapres dimakzulin, Presiden tetap jalan terus. Ini jelas banget nunjukkin kalau mereka nggak ‘sepaket’ dalam urusan pemakzulan.
Pernyataan Presiden Jokowi ini memang bikin ramai dan memicu banyak diskusi. Tapi kalau dilihat dari kacamata konstitusi dan pendapat para ahli hukum tata negara, ide pemakzulan yang ‘sepaket’ antara Presiden dan Wakil Presiden itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Proses pemakzulan di Indonesia itu sangat serius, ketat, dan spesifik untuk setiap individu yang menjabat, berdasarkan pelanggaran yang mereka lakukan sendiri.***