Oleh Lukman Hakim
Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 dengan ratusan korban jiwa dan kerugian miliaran rupiah, bukanlah sekadar “bencana alam” akibat curah hujan ekstrem, melainkan tragedi ekologis dan kegagalan sistemik. Ini adalah manifestasi nyata pengkhianatan terhadap amanat konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945.
Banjir bandang dan longsor adalah tagihan atas “dosa ekologis” yang menumpuk. Curah hujan ekstrem hanyalah pengekspos dari kerapuhan ekologis yang kita ciptakan sendiri. Akar masalahnya adalah faktor antropogenik: degradasi dan alih fungsi hutan yang masif di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Hutan tropis yang seharusnya berfungsi sebagai “spons raksasa” untuk menyerap air telah lenyap akibat deforestasi, memicu peningkatan limpasan permukaan (run-off) yang cepat dan masif. Bencana ini adalah akumulasi kegagalan sistemik dan lemahnya tata ruang.
Pengkhianatan Konstitusi (Pasal 33 UUD 1945)
Tragedi Sumatra mengungkap penyimpangan praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dari amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kemakmuran telah dikhianati dan disalahgunakan melalui:
• Pengkhianatan Kemakmuran Berkesinambungan: Pengelolaan SDA mengutamakan keuntungan korporasi/sektoral jangka pendek, mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan ekologis jangka panjang.
• Kelemahan Tata Kelola: Negara gagal mengendalikan izin konsesi dan menegakkan hukum lingkungan, membiarkan kerusakan DAS terus berlanjut.
• Ekspansi Ekonomi Destruktif: Kebijakan investasi bersifat ekstraktif di wilayah sensitif ekologis tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
• Kegagalan Perlindungan Rakyat: Kegagalan menjaga fungsi ekosistem mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda rakyat.
Oleh karenanya kita harus menuntut negara untuk kembali ke rel konstitusi. Pengelolaan SDA harus didasarkan pda prinsip kehati-hatian, keberlanjutan, dan keadilan intergenerasi.
Pertama, Penegakan Hukum: Penegakan hukum lingkungan harus dilakukan tanpa pandang bulu terhadap korporasi atau oknum yang terbukti merusak benteng alam di hulu. Termasuk terhadap perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan elit kekuasaan. Pola pengelolaan kepada korporasi privat harus dihentikan dan di ganti dengan pengelolaan swa masyarakat secara kolektif dan transparan melalui koperasi dan kelompok adat.
Kedua, jika Pasal 33 UUD 1945 tidak dimaknai sebagai “Konstitusi Hijau” dan hanya menjadi legitimasi bagi eksploitasi, maka kita harus bersiap menyambut bencana-bencana ekologis yang lebih besar.
Pengelolaan SDA telah disalahgunakan untuk kerakusan segelintir pihak. Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah pengkhianatan struktural yang dibayar dengan nyawa rakyat. Hentikan!***
Posted inOpini
Pengkhianatan Konstitusi Lahirkan Bencana Ekologis

