MAKNews.com, Jakarta – Pada tahun 2012, menjelang KTT Bumi di Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan klaim optimis yang menarik perhatian global: laju perusakan hutan di Indonesia telah berhasil ditekan secara drastis dari 3,5 juta hektare per tahun menjadi kurang dari setengah juta hektare per tahun dalam sepuluh tahun terakhir.
Klaim ini, yang disampaikan di tengah upaya internasional Indonesia untuk mendapatkan insentif terkait pengurangan emisi (REDD+), perlu diuji menggunakan data jangka panjang dari sumber-sumber kredibel.
Menguji Klaim Penurunan Laju Deforestasi

Analisis Kesenjangan:
Basis Perhitungan: Laju deforestasi sebesar 3,5 juta ha/tahun yang disebut SBY kemungkinan merujuk pada laju deforestasi bruto (tanpa mempertimbangkan penanaman kembali) tertinggi di masa krisis akhir 1990-an/awal 2000-an.
Fakta Data Satelit: Lembaga independen seperti Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW) mencatat bahwa meskipun laju deforestasi menurun dari puncak 2 juta ha/tahun (awal 2000-an), lajunya masih konsisten di atas 1 juta hektare per tahun sepanjang periode 2004–2014. Penurunan drastis hingga di bawah 500.000 ha/tahun (deforestasi netto) baru terjadi secara stabil pada periode 2017–2020, jauh setelah masa jabatan SBY berakhir.
Meskipun laju deforestasi tidak serendah yang diklaim, harus diakui bahwa pemerintahan SBY telah meletakkan dasar kebijakan penting yang berdampak positif dalam jangka panjang.
1. Moratorium Hutan Primer dan Lahan Gambut
Kebijakan: Instruksi Presiden (Inpres) Moratorium Izin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2011.
Dampak: Kebijakan ini secara efektif membatasi penerbitan izin baru untuk konsesi kehutanan dan perkebunan di wilayah hutan yang paling rentan dan bernilai konservasi tinggi. Para ahli lingkungan sepakat bahwa kebijakan ini adalah langkah paling krusial pada era SBY yang membantu mencegah potensi deforestasi di masa depan.
2. Program Penanaman Pohon
Klaim SBY: Telah menanam 3,2 miliar pohon dalam dua tahun terakhir (2010–2012).
Fakta: Program penanaman masif (seperti “Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia”) memang dilaksanakan. Namun, program ini dikritik karena seringkali bibit yang ditanam memiliki tingkat kelangsungan hidup (survival rate) yang rendah. Selain itu, penanaman pohon tidak dapat menggantikan fungsi ekologis hutan alam yang hilang akibat deforestasi.
Akumulasi Deforestasi Terbesar Sejak Tahun 2000
Meskipun ada kebijakan Moratorium, laju deforestasi yang konsisten tinggi selama periode 10 tahun masa jabatan SBY (2004–2014) secara kumulatif menjadikannya periode dengan total deforestasi terbesar sejak awal Era Reformasi.

Klaim Presiden SBY pada tahun 2012 berfungsi sebagai pernyataan komitmen politik dan sorotan terhadap langkah-langkah positif seperti Moratorium. Meskipun Moratorium diakui efektif, data menunjukkan bahwa laju deforestasi netto pada masa pemerintahannya masih tinggi dan tidak mencapai angka <500.000 ha/tahun seperti yang diklaim. Tingginya laju deforestasi yang berlangsung selama satu dekade penuh inilah yang secara akumulatif menghasilkan luasan hutan yang hilang paling besar di antara periode Reformasi pasca-tahun 2000.***
