MAKNews, Jakarta – Kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia ke Pulau Gag, Raja Ampat, Sorong, Papua Barat pada Sabtu, 7 Agustus, menyajikan dua narasi yang kontras dan memicu beragam respons dari berbagai pihak. Di satu sisi, ia disambut hangat oleh masyarakat setempat, namun di sisi lain, protes keras dari aktivis lingkungan mewarnai kedatangannya di Sorong.
Menurut laporan media Antara, Menteri Bahlil disambut dengan antusias oleh masyarakat adat Pulau Gag. Sambutan ini disertai dengan permintaan tegas agar operasional perusahaan tambang nikel, PT Gag Nikel, dapat dilanjutkan. Salah seorang warga, Friska, dengan lugas menyampaikan kepada Menteri Bahlil, “Tidak ada itu pak isu itu, laut kami bersih, hoax itu kalau Pulau kami rusak, alam kami baik-baik saja pak.” Pernyataan ini mencerminkan harapan sebagian masyarakat lokal akan keberlanjutan kegiatan ekonomi yang dibawa oleh tambang.
Namun, gambaran yang berbeda terjadi ketika Bahlil tiba di Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong, Papua Barat Daya, pada Sabtu, 7 Juni, seperti diberitakan oleh CNN Indonesia. Setibanya di sana, Bahlil langsung disambut oleh demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis lingkungan. Momen tersebut bahkan sempat diwarnai teriakan “penipu” dari massa aksi yang ditujukan kepada Bahlil, yang saat itu dalam perjalanan menuju Raja Ampat untuk meninjau tambang nikel. Melansir Detik, para demonstran mendesak pemerintah untuk segera menutup tambang nikel yang dianggap merusak lingkungan di Raja Ampat.
Polemik ini dengan cepat menyebar dan memicu berbagai tanggapan dari berbagai kalangan:
Dari pihak pemeirntah, Menteri Bahlil sendiri, dalam responsnya, menegaskan akan mengevaluasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat. Ia juga menyatakan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) di lokasi tersebut terbit sebelum dirinya menjabat sebagai menteri. Bahlil membantah bahwa aktivitas tambang merusak kawasan wisata Raja Ampat, menegaskan lokasi tambang berada sekitar 30 hingga 40 kilometer dari Piaynemo, salah satu ikon wisata. Ia bahkan mengklaim telah menemukan reklamasi tambang nikel di sana cukup bagus.
Senada Bahlil, Sekjen Partai Golkar, Sarmuji, menilai kritik yang dilontarkan kepada Menteri Bahlil salah sasaran. Menurutnya, izin tambang sudah diterbitkan jauh sebelum Bahlil menjabat, dan Bahlil justru telah mengambil langkah tepat dengan menghentikan sementara operasional tambang nikel PT Gag Nikel. Demikian pula Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno (dalam berita terbaru), juga menyatakan tidak menemukan masalah di wilayah tambang saat ikut mendampingi Bahlil. “Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi overall ini sebetulnya tambang ini tidak ada masalah,” tuturnya, seraya menambahkan bahwa koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus dilakukan.
Sementara itu dari kalangan pemerhati lingkungan seperti, Greenpeace Indonesia, melalui salah satu aktivisnya, Iqbal Damanik, menyatakan bahwa penghentian sementara operasional tambang tersebut hanyalah “akal-akalan” untuk meredam protes. Iqbal mendesak Bahlil untuk tidak hanya menghentikan sementara, tetapi mencabut seluruh izin tambang nikel, mengingat penerbitan IUP dianggap cacat sedari awal. Mereka menyoroti bahwa kerusakan lingkungan yang paling terlihat sejak tambang nikel beroperasi di beberapa pulau adalah sedimentasi. Demikian pula Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto, bahkan mengkritik keras rencana pemberian izin tambang kepada organisasi keagamaan (yang sebelumnya diwacanakan oleh Bahlil terkait PBNU), menegaskan bahwa pemerintah tidak semestinya memberikan izin tambang sebelum ada peraturan presiden yang mengatur secara teknis.
Pakar dan akademisi secara umum meminta pemerintah untuk menghentikan total proyek tambang di Raja Ampat Ketua Indonesia Carbon Credit and Biodiversity Alliance (ICBA), Rob Raffael Kardinal, menegaskan penolakan kerasnya terhadap eksploitasi tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat, mengingat statusnya sebagai warisan dunia dan kebanggaan Papua yang harus dilindungi total dari ancaman industri ekstraktif.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, mengaku kesulitan mengintervensi tambang yang diduga mencemari alam Raja Ampat. Ia menyindir otonomi khusus yang diberikan ke Papua, karena kewenangan penerbitan dan pencabutan izin tetap berada di pemerintah pusat, menunjukkan adanya dilema antara desentralisasi dan sentralisasi kewenangan.
Sedangkan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, melalui akun media sosialnya, juga secara tegas menyuarakan “Hentikan Tambang Nikel, Selamatkan Raja Ampat!” yang mendapatkan respons luas dari publik.***