MAKNews, Washington DC – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi memberlakukan kembali larangan perjalanan yang menargetkan warga negara dari 12 negara. Kebijakan ini mulai berlaku pada hari ini, Senin (9/6/2025), dengan klaim untuk melindungi negara dari ancaman “teroris asing dan masalah keamanan nasional lainnya.” Keputusan ini telah memicu gelombang kekhawatiran dan kritik, terutama di kalangan komunitas diaspora di AS yang memiliki kerabat di negara-negara terdampak. Berikut Informasi yang dihimpoun oleh Kontributor MAKNewsdotcom di Amerika Serikat.
Menurut laporan dari Reuters dan NPR pada Senin (9/6/2025), negara-negara yang terkena dampak penuh larangan perjalanan terbaru ini adalah Afghanistan, Myanmar (Burma), Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Selain itu, tujuh negara lain, yaitu Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela, akan menghadapi pembatasan perjalanan yang lebih ketat, khususnya untuk jenis visa tertentu atau migrasi permanen. Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut, berarti WNI masih bisa melakukan perjalanan dan kunjungan ke AS seperti biasa.
Pemerintahan Trump menyatakan bahwa negara-negara yang masuk dalam daftar ini memiliki “proses penyaringan dan verifikasi yang tidak memadai” atau secara historis menolak untuk menerima kembali warganya yang dideportasi dari AS. Kebijakan ini, yang diumumkan setelah insiden serangan di Boulder, Colorado, meskipun pelaku berasal dari Mesir (negara yang tidak masuk daftar), diklaim sebagai langkah esensial untuk mencegah masuknya individu yang berpotensi membahayakan keamanan nasional. “Kami tidak menginginkan mereka,” tegas Trump, menurut laporan NPR.
Kebijakan ini menghidupkan kembali “larangan perjalanan” kontroversial yang pernah diberlakukan Trump selama masa jabatan pertamanya pada 2017-2020, yang kemudian dicabut oleh Presiden Joe Biden pada hari pertamanya menjabat di tahun 2021. Para ahli hukum dan pengamat politik, seperti yang dikutip oleh NPR, mencatat bahwa formulasi larangan terbaru ini tampaknya lebih cermat secara hukum dibandingkan upaya sebelumnya.
Respons Warga Terdampak di AS
Pemberlakuan larangan perjalanan ini segera menimbulkan kekhawatiran mendalam di berbagai komunitas imigran dan diaspora di seluruh AS. Bagi banyak warga negara dari 12 negara yang kini tinggal di AS, termasuk pemegang green card atau warga negara AS, kebijakan ini berarti ketidakpastian dan ketakutan akan terpisah dari keluarga mereka di luar negeri.
NBC Bay Area (8 Juni 2025) melaporkan kecemasan di kalangan komunitas Iran dan Afghanistan. Omar, seorang pengusaha di “Little Kabul” (pusat kebudayaan Afghanistan di Bay Area), menyatakan kekhawatiran serius. “Kami punya kerabat di Afghanistan yang tidak bisa pergi,” ujarnya. “Saya punya sepupu yang sudah berbulan-bulan berusaha datang ke sini. Ketika ada secercah harapan, rasanya selalu direnggut.” Hamid Azimi dari Komunitas Iran-Amerika di California Utara menyebutkan reaksi beragam, di mana sebagian mendukung jika larangan tersebut memang menekan rezim, namun menegaskan bahwa sanksi harus ditujukan pada rezim, bukan rakyat Iran.
CBS News (9 Juni 2025) mengutip Louis-Juste (23), yang memiliki keluarga di Haiti, mengungkapkan rasa “sangat kesal” dan “mengecewakan” atas larangan ini. “Saya rasa ini bukan hal yang baik. Saya pikir ini sangat menjengkelkan,” katanya.
Kelompok-kelompok seperti International Rescue Committee (IRC) dan American Immigration Council telah mengecam keras kebijakan ini. IRC menyebutnya “diskriminatif, rasis, dan benar-benar kejam,” serta memperingatkan tentang konsekuensi kemanusiaan yang parah, termasuk pemisahan keluarga dan risiko bagi pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan. American Immigration Council menambahkan bahwa kebijakan ini “mengancam untuk mengacaukan komunitas, memisahkan keluarga, dan menimbulkan kerugian jangka panjang pada ekonomi kita.” Mereka juga menekankan bahwa larangan tersebut tidak berlaku untuk individu yang sudah memiliki visa valid dan berada di AS sebelum 9 Juni 2025, atau pemegang green card.***