Purbaya Yudhi Sadewa, sosok yang kini memegang kunci kas negara, tiba di Kementerian Keuangan dengan janji reformasi dan terobosan. Ia datang bergaya koboi dengan sederet gagasan yang berani: percepatan pertumbuhan ekonomi, injeksi likuiditas, hingga penyederhanaan birokrasi. Namun, di balik visi yang optimis itu, terbentang jalan penuh tantangan yang memerlukan lebih dari sekadar semangat, melainkan strategi yang matang dan kemauan politik yang kuat.
3 hari pegang kendali, di hadapan DPR Purbaya memaparkan tiga “obat cepat” untuk ekonomi: mempercepat belanja pemerintah, menempatkan dana menganggur di BI ke perbankan, dan mempermudah investasi. Langkah-langkah ini, secara teori, adalah pendekatan klasik untuk memacu pertumbuhan. Percepatan belanja pemerintah dapat mendorong permintaan agregat, sementara likuiditas yang melimpah diharapkan bisa menggerakkan sektor riil. Visi ini menunjukkan pemahaman yang baik tentang mekanisme ekonomi. Ia menempatkan Kementerian Keuangan bukan hanya sebagai penjaga anggaran, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi. Namun, terobosan ini perlu diuji di lapangan. Apakah percepatan belanja benar-benar akan sampai ke masyarakat secara efektif atau justru memicu proyek-proyek yang tidak esensial? Apakah injeksi likuiditas akan benar-benar mengalir ke sektor produktif atau hanya berputar di sektor keuangan? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan krusial yang harus dijawab dengan tindakan nyata.
Dampak Negatif Injeksi Likuiditas Tanpa Aktivitas Produktif
Di balik niat baik Purbaya, terdapat bahaya besar jika injeksi likuiditas tidak dibarengi dengan aktivitas ekonomi produktif di dalam negeri. Tanpa adanya investasi riil yang menciptakan barang dan jasa, likuiditas yang melimpah akan memicu inflasi. Terlalu banyak uang yang beredar mengejar terlalu sedikit barang, yang menyebabkan kenaikan harga-harga dan mengikis daya beli masyarakat. Terlebih nilai riil upah buruh masih rendah.
Selain itu, uang yang tidak tersalurkan ke sektor riil cenderung mengalir ke sektor aset non-produktif seperti properti atau saham, menciptakan gelembung aset. Ketika gelembung ini pecah, kerugian besar bagi investor dan masyarakat bisa memicu krisis keuangan. Likuiditas berlebih juga bisa menekan nilai tukar Rupiah dan memperparah kesenjangan ekonomi, di mana hanya segelintir orang yang diuntungkan dari akses mudah terhadap uang.
Di sisi lain, terdapat sejumlah tantangan besar dan pihak-pihak yang berpotensi menjadi penghambat:
1. Kontradiksi Ambisi: Tantangan pertama adalah menyeimbangkan janji pertumbuhan tinggi (8%) dengan komitmen disiplin fiskal (defisit APBN di bawah 3%). Menghadapi potensi perlambatan ekonomi global, target ambisius ini bisa membebani APBN.
2. Perlawanan Status Quo: Pihak yang paling terancam adalah mereka yang diuntungkan dari birokrasi yang rumit dan tidak transparan. Langkah Purbaya untuk mempermudah investasi dan menuntut efisiensi akan berbenturan dengan oknum birokrasi, kartel bisnis, atau bahkan BUMN yang terbiasa dengan “zona nyaman.” Para penikmat rente dan pejabat korup ausha pasti tidak akan diam.
3. Tuntutan Politik: Sebagai menteri di kabinet koalisi, Purbaya berada di bawah tekanan untuk memenuhi janji-janji kampanye yang mungkin membutuhkan anggaran besar. Gesekan dengan kementerian lain atau partai politik koalisi bisa menjadi hambatan serius dalam mengelola APBN secara pruden.
Strategi untuk Mengatasi Tantangan
Untuk menghadapi tantangan ini, Purbaya tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknokratis. Ia perlu mengadopsi skema strategis yang lebih komprehensif. Pertana, membangun Kredibilitas dan Komunikasi Publik: Purbaya perlu segera membangun kredibilitas di mata publik dan pasar. Ini bisa dilakukan dengan komunikasi yang lebih terukur dan transparan, menghindari pernyataan yang bisa menimbulkan polemik atau keraguan. Kredibilitas adalah aset terpenting yang akan memberinya kekuatan politik untuk melawan tekanan dari dalam dan luar.
Kedua, skema pengawasan anggaran: Untuk memastikan percepatan belanja tidak disalahgunakan, ia bisa menerapkan skema pengawasan anggaran yang ketat dan transparan, menggunakan teknologi untuk melacak setiap rupiah yang dikeluarkan. Ini tidak hanya akan mencegah korupsi, tetapi juga memastikan efektivitas program.
Keriga, reformasi lintas sektor: Mempermudah investasi tidak bisa hanya dilakukan oleh satu kementerian. Purbaya harus membentuk satuan tugas reformasi lintas sektor dengan kewenangan kuat, yang melibatkan kementerian terkait, birokrasi, hingga aparat penegak hukum, untuk secara sistematis memangkas birokrasi dan praktik korupsi.
Keempat, untuk memastikan injeksi likuiditas berjalan efektif, Purbaya perlu bersinergi erat dengan Bank Indonesia (BI). Ia harus berkomunikasi secara konsisten untuk memastikan kebijakan fiskal dan moneter saling mendukung, bukan justru saling melemahkan.
Masa depan ekonomi Indonesia kini berada di pundak seorang Purbaya Yudhi Sadewa. Kesuksesan tidak hanya diukur dari angka-angka makro, tetapi juga dari kemampuannya menavigasi labirin politik dan kepentingan yang kompleks. Apakah ia akan menjadi bendahara yang mampu membawa Indonesia ke masa depan yang lebih cerah, atau justru terperangkap dalam bayang-bayang ambisinya sendiri? Waktu yang akan menjawab.***