Badan-badan Baru Era Prabowo: Efisiensi Ilusi di Tengah Anggaran Tercekik?

Badan-badan Baru Era Prabowo: Efisiensi Ilusi di Tengah Anggaran Tercekik?
Ilustrasi (www.gisreportsonline.com)

Namun, bisakah kita benar-benar membenarkan ekspansi birokrasi yang masif ini di tengah upaya pemangkasan? Tanpa pemangkasan signifikan di area lain, ini hanya akan menambah tumpukan utang dan mempersempit ruang fiskal untuk program-program esensial lainnya. Pemerintah juga bertaruh pada optimasi penerimaan negara, terutama jika BPN/BOPN pada akhirnya dibentuk, untuk menciptakan ruang fiskal yang lebih besar.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah memulai langkahnya dengan gegap gempita, termasuk niatnya untuk merombak struktur birokrasi melalui pembentukan berbagai lembaga baru. Dari Badan Gizi Nasional (BGN) yang fokus pada program makan gratis, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang mengoptimalkan investasi, hingga Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) yang mengejar target kemiskinan, daftar ini tampaknya akan terus memanjang. Badan lainnya seperti Badan Penyelenggara Haji (BPH), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus (BPPIK), dan Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan (BTIIK) juga telah dibentuk, beberapa di antaranya sudah dipimpin oleh pejabat yang dilantik sejak Oktober 2024 hingga Mei 2025. Wacana Badan Penerimaan Negara (BPN) / Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN) untuk mendongkrak rasio penerimaan negara juga masih mengemuka, meski prioritasnya belum final per Juni 2025.

Di balik retorika efisiensi dan peningkatan kinerja, patut dipertanyakan: apakah ini benar-benar terobosan substantif atau justru menciptakan ilusi perbaikan di tengah keterbatasan fiskal dan manuver politik?

Niat membentuk lembaga spesifik memang terdengar visioner—konon untuk memfokuskan upaya dan mengatasi masalah secara lebih lincah. Namun, realitasnya seringkali jauh dari harapan. Setiap pembentukan lembaga baru adalah beban langsung bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan pagu belanja APBN 2025 sebesar Rp3.621,31 triliun dan target pendapatan Rp3.005,1 triliun, pemerintah dihadapkan pada tantangan fiskal yang tidak ringan. Pemerintah memang berencana mendanai operasional badan-badan baru ini melalui realokasi dan efisiensi anggaran yang sudah ada, bahkan Presiden Prabowo telah menginstruksikan pemangkasan belanja APBN 2025 hingga Rp306,6 triliun untuk meningkatkan “kualitas belanja”. Belanja operasional seperti uang saku rapat di luar kantor dan paket data PNS menjadi target pemangkasan. Namun, bisakah kita benar-benar membenarkan ekspansi birokrasi yang masif ini di tengah upaya pemangkasan? Tanpa pemangkasan signifikan di area lain, ini hanya akan menambah tumpukan utang dan mempersempit ruang fiskal untuk program-program esensial lainnya. Pemerintah juga bertaruh pada optimasi penerimaan negara, terutama jika BPN/BOPN pada akhirnya dibentuk, untuk menciptakan ruang fiskal yang lebih besar.

Baca Juga  Kontroversi Supersemar di Era Orde Baru

Kritik tajam harus dialamatkan pada isu tumpang tindih kewenangan dan potensi fragmentasi kebijakan. Indonesia sudah memiliki segudang kementerian dan lembaga yang fungsinya seringkali saling bersinggungan. Apakah BP Taskin, misalnya, akan benar-benar lebih efektif dibandingkan koordinasi yang ditingkatkan antara Kementerian Sosial, Bappenas, dan kementerian terkait lainnya? Atau justru menciptakan “kerajaan” baru dengan ego sektoral yang kian memperumit penanganan masalah? Pengalaman menunjukkan bahwa semakin banyak “dapur” kebijakan, semakin besar potensi miskoordinasi, tumpang tindih program, dan pada akhirnya, pemborosan sumber daya. Sinergi yang diklaim seringkali hanya ada di atas kertas, sementara di lapangan terjadi tarik-menarik kepentingan.

Dan tentu saja, tidak bisa dinafikan adanya bayang-bayang akomodasi politik. Setiap lembaga baru membuka lusinan, bahkan ratusan, posisi strategis. Dalam konteks politik Indonesia, ini menjadi peluang emas untuk menempatkan para pendukung, tim sukses, atau pihak-pihak yang berjasa dalam perebutan kekuasaan. Jika seleksi pimpinan dan staf didominasi oleh pertimbangan loyalitas politik ketimbang meritokrasi dan kompetensi, maka janji peningkatan kinerja hanya akan menjadi bualan. Birokrasi yang membesar dengan motivasi politik semata adalah resep sempurna untuk ketidakefisienan, korupsi, dan rendahnya akuntabilitas.

Pemerintah memang memiliki hak untuk membentuk struktur yang dianggap paling efektif. Namun, masyarakat memiliki hak yang lebih besar untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan justifikasi yang kuat. Pembentukan lembaga baru tidak boleh hanya menjadi dalih untuk memperluas kue kekuasaan atau menampung kepentingan. Tanpa analisis dampak yang mendalam, kajian efisiensi yang ketat, dan komitmen nyata pada profesionalisme, gelombang lembaga baru ini berisiko menjadi monumen inefisiensi yang membebani negara dan menghambat kemajuan. Rakyat patut bertanya: apakah ini reformasi birokrasi, atau sekadar penataan meja baru untuk wajah-wajah lama?***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *