Jangan Ganggu Aceh!

Jangan Ganggu Aceh!

Isu administratif mengenai empat pulau di perairan Aceh yang kini beralih administrasi ke Sumatera Utara kembali mengusik ingatan kolektif tentang posisi dan kontribusi Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tengah sorotan ini, kita harus tegas menyatakan: jangan ganggu Aceh dengan persoalan remeh-temeh yang berpotensi memicu kegaduhan dan konflik. Kontribusi Aceh terhadap kemerdekaan dan keutuhan bangsa ini terlalu besar dan berdarah-darah untuk dinodai oleh keputusan administratif yang terkesan terburu-buru dan tidak mempertimbangkan sensitivitas sejarah.

Untuk segera meredakan ketegangan dan mencegah dampak yang lebih luas, langkah paling bijak adalah membatalkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mengalihkan administrasi empat pulau tersebut. Pembatalan ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan sebuah gestur penghargaan terhadap sejarah dan kekhususan Aceh. Kembalikan 4 pulau ke pangkuan Aceh, tanpa syarat. Ini adalah cara cepat untuk mengembalikan stabilitas, tanpa harus memperpanjang perdebatan yang tidak perlu.

Ketika sebagian wilayah Indonesia jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer II tahun 1948, Aceh berdiri tegak sebagai benteng terakhir Republik. Saat Yogyakarta sebagai ibu kota dibungkam dan propaganda Belanda menyebar bahwa Indonesia telah bubar, dari hutan belantara Desa Rimba Raya, Bener Meriah, Aceh, lahirlah Radio Rimba Raya. Pemancar sederhana itu menjadi satu-satunya suara Republik yang lantang berseru ke seluruh dunia: “Republik Indonesia masih ada!” Siaran dalam lima bahasa itu menembus batas benua, mencapai New Delhi, Manila, bahkan Eropa, membongkar kebohongan penjajah dan membakar semangat juang di seluruh pelosok negeri. Radio Rimba Raya bukan hanya alat komunikasi; ia adalah jantung perjuangan, simbol nyata bahwa Aceh adalah “daerah modal” bagi kemerdekaan, baik secara moril maupun materiel.

Baca Juga  Cacatan Kritis terhadap Asta Cita Prabowo-Gibran

Kontribusi Aceh jauh melampaui Radio Rimba Raya. Sejak awal proklamasi, rakyat Aceh tak henti berjuang. Mereka mempertahankan wilayahnya dari pendudukan penuh Belanda setelah kemerdekaan, sebuah pencapaian yang membedakan Aceh dari banyak provinsi lain. Sumbangan emas dari rakyat Aceh untuk membeli pesawat pertama Indonesia adalah bukti konkret komitmen tak tergoyahkan mereka terhadap kemerdekaan. Ini adalah sejarah yang terukir dengan tinta emas, bukan catatan kaki yang bisa diabaikan.


Aceh telah melalui jalan panjang dan berliku dalam bingkai NKRI, termasuk konflik internal yang mendalam. Namun, semangat rekonsiliasi dan komitmen terhadap persatuan selalu menjadi pijakan. Status Otonomi Khusus yang kini disandang Aceh adalah pengakuan atas kekhususan sejarah, budaya, dan syariatnya—sebuah upaya untuk merajut kembali kebersamaan dalam wadah NKRI.
Oleh karena itu, persoalan administratif seperti perpindahan empat pulau ini harus disikapi dengan bijak dan proporsional. Ini adalah masalah teknis yang semestinya diselesaikan melalui mekanisme yang tepat dan dialog yang menghargai, bukan melalui keputusan sepihak yang melukai perasaan. Mengungkit-ungkit batas wilayah dengan cara yang merendahkan atau meragukan loyalitas Aceh terhadap NKRI adalah bentuk disorientasi sejarah yang berbahaya.


Aceh telah melalui jalan panjang dan berliku dalam bingkai NKRI, termasuk konflik internal yang mendalam. Namun, semangat rekonsiliasi dan komitmen terhadap persatuan selalu menjadi pijakan. Status Otonomi Khusus yang kini disandang Aceh adalah pengakuan atas kekhususan sejarah, budaya, dan syariatnya—sebuah upaya untuk merajut kembali kebersamaan dalam wadah NKRI.
Oleh karena itu, persoalan administratif seperti perpindahan empat pulau ini harus disikapi dengan bijak dan proporsional. Ini adalah masalah teknis yang semestinya diselesaikan melalui mekanisme yang tepat dan dialog yang menghargai, bukan melalui keputusan sepihak yang melukai perasaan. Mengungkit-ungkit batas wilayah dengan cara yang merendahkan atau meragukan loyalitas Aceh terhadap NKRI adalah bentuk disorientasi sejarah yang berbahaya.

Baca Juga  Pertemuan Para Naga dan Prabowo: Antara Kemandirian Ekonomi dan Kepentingan Oligarki


Kita semua, sebagai bangsa Indonesia, wajib mengingat dan menghargai peran sentral Aceh dalam perjalanan Republik ini. Aceh bukanlah “daerah pinggiran” yang bisa digeser-geser sesuka hati. Aceh adalah bagian integral dari DNA keindonesiaan, sebuah wilayah yang telah memberikan begitu banyak demi tegaknya Merah Putih. Jangan ganggu Aceh dengan penyesalan, apalagi memicu konflik yang tidak perlu. Hargai sejarahnya, hormati kekhususannya, dan selesaikan masalah dengan kepala dingin. Karena di setiap jengkal tanah Aceh, bersemayam semangat juang yang tak pernah padam untuk Indonesia.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *