Kemriripan Aksi Protes di Indonesia, Nepal dan Prancis, Ini Penjelasannya

Kemriripan Aksi Protes di Indonesia, Nepal dan Prancis, Ini Penjelasannya
Advertisements

Aksi protes yang terjadi secara bersamaan di tiga negara ini mencerminkan gelombang ketidakpuasan global terhadap pemerintahan yang dianggap korup, tidak responsif terhadap isu ekonomi, dan semakin otoriter. Protes di Indonesia (akhir Agustus-awal September 2025) dipicu oleh isu korupsi parlemen dan kematian seorang pemuda, sementara di Nepal (awal September 2025) dimulai dari larangan media sosial yang berkembang menjadi pemberontakan anti-korupsi, dan di Prancis (10 September 2025) merupakan respons terhadap penunjukan perdana menteri baru di tengah krisis ekonomi. Ketiganya menunjukkan pola kesamaan: keterlibatan kuat Generasi Z (Gen Z) sebagai penggerak utama, peran krusial media sosial dalam mobilisasi, serta pemicu yang berakar pada ketidakadilan ekonomi dan politik. Namun, dampaknya bervariasi, dari perombakan kabinet hingga pengunduran diri pemimpin. Berikut perbandingan poin-poin utama berdasarkan karakteristik kesamaan, keterlibatan Gen Z dan media sosial, pemicu, serta dampak.

1. Kesamaan Karakteristik

Ketiga aksi protes memiliki ciri-ciri serupa yang mencerminkan tren protes modern: leaderless (tanpa pemimpin tunggal), cepat eskalasi menjadi kekerasan, dan simbolisme budaya pop untuk solidaritas. Protes ini bersifat urban, melibatkan massa muda yang menargetkan simbol kekuasaan seperti parlemen atau gedung pemerintah, serta direspons dengan represi polisi yang brutal.

Aspek KarakteristikIndonesiaNepalPrancis
Bentuk ProtesDemonstrasi massal di Jakarta dan kota besar, blokade parlemen, bentrokan dengan polisi.Pembakaran parlemen, gedung pemerintah, dan rumah pejabat; bentrokan jalanan di Kathmandu.“Block Everything”: Blokade jalan tol, pembakaran barikade, gangguan transportasi di Paris dan kota-kota besar.
Skala dan EskalasiDimulai damai (25 Agustus), eskalasi setelah kematian driver ojol; ribuan peserta.Mulai 4 September, cepat menjadi kekerasan dengan 25 tewas; curfew nasional.Dimulai 10 September, ratusan aksi kecil tapi disruptif; 200+ ditangkap dalam sehari.
SimbolismeBendera Straw Hat (One Piece) sebagai simbol anti-korupsi; warna pink-hijau untuk branding. Mncul 17+8 Tuntutan RakyatBendera Straw Hat (One Piece) lagi; serangan langsung ke rumah pejabat korup.Bendera Prancis dan simbol anti-EU; babi-babi palsu dilempar ke kantor pemerintah sebagai metafor korupsi.
Respons PemerintahCrackdown brutal: 3.000+ ditangkap, polisi gunakan kekerasan. Penonaktifan Anggota DPR, Resufle KabinetTentara dikerahkan, curfew tak terbatas; larangan medsos dicabut.80.000 pasukan keamanan dikerahkan; bentrokan sporadis tapi terkendali.

Kesamaan utama: Semua protes bersifat spontan dan anti-elit, dengan elemen kekerasan yang memicu solidaritas lintas batas (misalnya, inspirasi One Piece dari Indonesia ke Nepal). Ini mirip “color revolutions” modern, di mana branding visual dan media sosial mempercepat penyebaran.

Baca Juga  Pembentukan Koperasi Merah Putih di 70.000 Desa: Langkah Menuju Kemandirian Ekonomi

2. Keterlibatan Kaum Muda (Gen Z) dan Media Sosial

Gen Z (usia 18-25 tahun) menjadi tulang punggung ketiga protes, didorong oleh akses digital dan frustrasi atas masa depan yang suram. Mereka bukan hanya peserta, tapi penggerak utama melalui kreativitas online. Media sosial berperan ganda: sebagai pemicu (Nepal) dan alat koordinasi (semua negara), meski sering diblokir atau diawasi.

  • Gen Z di Indonesia: Mahasiswa dan pekerja muda mendominasi, terutama setelah video kematian Affan Kurniawan (21 tahun) viral. Mereka menggunakan medsos untuk kampanye “Gelap Indonesia” sejak Februari, tapi puncaknya di Agustus-September menarik ribuan Gen Z yang marah atas ketidakadilan ekonomi.
  • Gen Z di Nepal: Disebut “Gen Z Revolt”, dipimpin pemuda yang muak dengan “nepo-kids” (anak politisi pamer kemewahan di medsos). Ribuan siswa dan pemuda bentrok polisi, menuntut reformasi; mereka leaderless dan terkoordinasi via app sebelum larangan.
  • Gen Z di Prancis: Siswa SMA dan aktivis muda terlibat dalam blokade, gabung dengan serikat pekerja. Protes ini melanjutkan semangat Yellow Vests (2018), di mana Gen Z melihat Macron sebagai simbol kegagalan sistem.
  • Peran Media Sosial: Di Indonesia, X (Twitter) dan Instagram sebarkan video polisi brutal, viral global. Di Nepal, larangan 26 platform (termasuk X, FB) justru memicu pemberontakan; setelah dicabut, medsos jadi alat tuntutan. Di Prancis, Telegram dipuji Pavel Durov sebagai “alat protes” utama, koordinasi aksi real-time meski ada sensor. Kesamaan: Medsos amplifikasi suara Gen Z, tapi pemerintah respons dengan blokade atau pengawasan, yang malah memperburuk situasi.

Gen Z di ketiga negara mewakili 40-60% peserta, didorong oleh isu seperti pengangguran (33% di Nepal) dan inflasi (2.31% di Indonesia, tinggi di Prancis). Mereka gunakan meme dan simbol pop (One Piece) untuk hindari sensor, menjadikan protes ini “digital-native”.

Baca Juga  Nepal di Tangan Generasi Z Lahirkan Pemimpin Wanita Pertama

3. Pemicu

Pemicu awal spesifik, tapi akarnya sama: korupsi institusional, ketidaksetaraan ekonomi, dan persepsi pemerintah sebagai elit terpisah dari rakyat. Ini diperburuk krisis global pasca-pandemi dan inflasi 2025.

  • Indonesia: Tunjangan perumahan parlemen Rp 45 miliar/tahun (hampir 10x gaji rata-rata); kematian Affan oleh polisi (28 Agustus); frustrasi atas kebijakan Prabowo seperti reformasi yang dianggap pro-elit. Lahir 17+8 Tuntutan Rakyat
  • Nepal: Larangan medsos 4 September karena platform “gagal daftar”; berkembang ke korupsi (PM Oli dan keluarga dituduh nepotisme), pengangguran tinggi, dan kemiskinan (GDP per kapita rendah).
  • Prancis: Penunjukan Lecornu sebagai PM baru (10 September) oleh Macron, di tengah anggaran austerity (potong defisit 5.8% GDP); 8 tahun pengabaian isu inflasi, utang, dan pensiun; tuntutan keluar EU.

Kesamaan: Spark spesifik (kematian, larangan, penunjukan) meledakkan bom waktu frustrasi ekonomi—biaya hidup naik, korupsi merajalela, dan pemuda merasa dikhianati.

4. Dampak

Dampak langsung: Kekerasan dan represi, tapi juga perubahan politik jangka pendek. Secara global, ini peringatan bagi pemerintahan otoriter; di Asia Selatan, inspirasi bagi negara tetangga seperti Bangladesh.

  • Indonesia: 10+ tewas, ribuan ditangkap; Beberapa anggota parlemen dinonaktifkan, Prabowo ganti 5 menteri (termasuk keuangan); protes mereda tapi ketegangan tetap, HRW kritik crackdown. Ekonomi terganggu (inflasi 2.31%).
  • Nepal: 25 tewas, 633 luka; PM Oli, presiden, dan menteri dalam negeri mundur; tentara ambil alih keamanan, bandara tutup (400+ warga India terjebak); tuntutan pemerintahan transisi, China harap stabilitas cepat.
  • Prancis: 200+ ditangkap, gangguan transportasi nasional; pemerintah Lecornu hadapi mogok besar (18 September); tekanan pada Macron untuk reformasi, tapi risiko krisis lebih dalam (utang 5.4% GDP).

Kesamaan dampak: Kematian dan luka (total >50 jiwa), perubahan kepemimpinan (mundur/ganti kabinet), dan eskalasi represi yang justru perkuat solidaritas protes. Jangka panjang: Potensi reformasi anti-korupsi, tapi risiko instabilitas jika tidak ditangani (misalnya, Nepal kini chaos politik).

Secara keseluruhan, ketiga protes ini menandai era “Gen Z uprising” di mana media sosial ubah dinamika demonstrasi, dari lokal jadi global. Indonesia dan Nepal lebih destruktif karena konteks negara berkembang, sementara Prancis lebih disruptif tapi terkendali. Pemerintah ketiga negara harus belajar: abaikan Gen Z dan medsos, dan gelombang ini bisa jadi tsunami.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *