Celana jeans adalah salah satu jenis pakaian yang paling populer dan dikenakan secara luas di seluruh dunia, tetapi di balik kepopulerannya, celana ini memiliki sejarah panjang yang menarik. Asal-usul jeans bermula dari abad ke-19 di Amerika Serikat, meskipun kain yang menjadi bahan utamanya, yaitu denim, berasal dari Prancis. Kata “denim” berasal dari istilah serge de Nîmes, yang berarti “kain dari Nîmes,” sebuah kota di Prancis yang memproduksi kain katun twill yang kuat. Sementara itu, kata “jeans” sendiri diyakini berasal dari kota Genoa di Italia, tempat para pelaut biasa menggunakan celana dari kain serupa. Pada awalnya, kain ini dikenal karena ketahanannya dan banyak digunakan untuk pakaian kerja, terutama di kalangan buruh dan pelaut.
Sejarah jeans sebagai pakaian modern bermula pada masa demam emas California di tahun 1850-an. Levi Strauss, seorang imigran asal Jerman, datang ke San Francisco dan membuka usaha penjualan tekstil untuk memenuhi kebutuhan para penambang yang bekerja dalam kondisi berat. Ia kemudian bekerja sama dengan seorang penjahit bernama Jacob Davis dari Nevada, yang menemukan cara untuk memperkuat celana kerja dengan menggunakan paku keling di bagian-bagian yang rawan sobek, seperti saku dan lutut. Inovasi ini sangat berhasil, dan pada tahun 1873, mereka bersama-sama mengajukan dan menerima paten untuk celana kerja berbahan denim yang diperkuat dengan paku keling—sebuah produk yang kelak menjadi cikal bakal celana jeans modern.
Awalnya jeans digunakan secara eksklusif oleh kalangan pekerja kasar seperti penambang, petani, dan koboi di Amerika Barat karena daya tahannya yang luar biasa. Namun, perubahan besar terjadi pada pertengahan abad ke-20, khususnya pada dekade 1950-an, ketika jeans mulai dipakai oleh kalangan muda sebagai simbol perlawanan terhadap norma sosial yang konservatif. Aktor-aktor legendaris seperti James Dean dalam film Rebel Without a Cause dan Marlon Brando dalam The Wild One mengenakan jeans, menjadikannya simbol kebebasan, pemberontakan, dan gaya hidup yang “cool.” Pada dekade 1960-an dan 1970-an, jeans semakin meluas penggunaannya di kalangan anak muda dan menjadi bagian dari identitas gerakan counter-culture, termasuk kaum hippie dan aktivis anti-perang. Pada masa ini, jeans bukan hanya pakaian, tetapi juga bentuk ekspresi politik dan sosial.
Memasuki dekade 1980-an dan 1990-an, jeans bertransformasi menjadi bagian integral dari industri mode global. Berbagai merek ternama seperti Levi’s, Wrangler, Lee, dan bahkan rumah mode kelas atas mulai merancang jeans dengan berbagai potongan dan gaya, mulai dari skinny, bootcut, hingga high-waist. Jeans tidak lagi sekadar pakaian sehari-hari, tetapi juga simbol gaya hidup dan tren fashion. Model-model dan selebriti dunia ikut andil dalam mempopulerkan berbagai gaya celana jeans, menjadikannya item wajib di berbagai belahan dunia.
Namun, popularitas jeans juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam konteks keberlanjutan lingkungan. Proses produksi celana jeans memerlukan penggunaan air dalam jumlah besar, serta zat kimia untuk pewarnaan dan pencucian yang berpotensi mencemari lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, isu ini mulai mendapat perhatian, mendorong banyak produsen untuk menerapkan praktik yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan bahan daur ulang, teknologi pewarnaan hemat air, dan sistem produksi yang lebih etis.
Dengan perjalanan sejarah yang begitu panjang dan penuh transformasi, celana jeans telah melampaui fungsinya sebagai pakaian semata. Ia menjadi simbol ketahanan, ekspresi diri, perubahan sosial, hingga perhatian terhadap lingkungan. Dari tambang emas di abad ke-19 hingga peragaan busana mewah di abad ke-21, celana jeans tetap menjadi salah satu pakaian paling relevan dan fleksibel yang pernah ada.***