MAKNews, Washington, D.C – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bahwa Indonesia akan tetap dikenakan tarif impor sebesar 32 persen untuk semua produk yang masuk ke pasar AS mulai 1 Agustus 2025. Namun, ia membuka peluang untuk menghapus tarif tersebut sepenuhnya jika Indonesia memenuhi sejumlah syarat tertentu.
Dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan melalui akun Truth Social pada 7 Juli 2025, Trump menyatakan bahwa tarif bisa diturunkan atau bahkan dihapuskan jika Indonesia membuka pasarnya lebih luas untuk barang dan jasa AS, menghapus hambatan perdagangan, atau mendirikan pabrik di wilayah AS. “Jika Indonesia bersedia membangun pabrik di Amerika, kami akan memberikan izin dengan cepat dan tarif bisa nol persen,” tulis Trump. Sebaliknya, ia mengancam akan menaikkan tarif secara proporsional jika Indonesia membalas dengan tarif lebih tinggi terhadap produk AS.
Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi “resiprokal” Trump untuk mengatasi defisit perdagangan AS dengan Indonesia, yang mencatat surplus sebesar 6,42 miliar dolar AS pada periode Januari–April 2025. Tarif 32 persen ini pertama kali diumumkan pada 2 April 2025, dan tetap diberlakukan meski telah dilakukan negosiasi intensif antara kedua negara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, saat ini sedang menuju Washington, D.C. untuk melanjutkan pembicaraan setelah menghadiri KTT BRICS di Brasil. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan masih ada waktu hingga akhir Juli untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. “Kami akan terus bernegosiasi untuk memastikan dampak minimal terhadap perekonomian nasional,” ujar juru bicara Kementerian Perdagangan.
Namun, kebijakan tarif ini menuai kekhawatiran di kalangan pelaku industri Indonesia. Ekonom Achmad Nur Hidayat memperingatkan bahwa sektor tekstil, yang merupakan salah satu penyumbang ekspor utama, dapat menghadapi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan kerugian ekonomi jangka panjang. “Tarif ini bisa mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, terutama jika tidak ada solusi segera,” katanya.
Pemerintah Indonesia kini berada di persimpangan: memenuhi tuntutan AS untuk membuka pasar atau mendirikan pabrik di AS, atau mencari strategi alternatif seperti diversifikasi pasar ekspor ke negara lain. Negosiasi dalam beberapa minggu ke depan akan menjadi penentu nasib hubungan perdagangan kedua negara.(RA)***