Kasus korupsi besar kembali mengguncang Indonesia, kali ini melibatkan PT Pertamina, perusahaan energi milik negara. Pada Februari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka dalam skandal ini, termasuk beberapa eksekutif anak perusahaan Pertamina dan pihak swasta. Dugaan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp193,7 triliun, menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Penyelidikan mengungkap bahwa skema korupsi ini melibatkan praktik penggelembungan harga dalam pengadaan minyak mentah dan manipulasi kontrak dengan perusahaan asing. Beberapa eksekutif Pertamina diduga menerima suap dalam proses pembelian minyak dari luar negeri, dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga pasar. Keuntungan ilegal dari praktik ini kemudian dialirkan ke rekening pribadi dan perusahaan cangkang di luar negeri.
Selain itu, dugaan penyelewengan juga ditemukan dalam proyek pembangunan infrastruktur energi. Beberapa proyek kilang minyak dan terminal bahan bakar terbukti mengalami mark-up anggaran, sementara pengerjaannya tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Proyek-proyek ini dikendalikan oleh jaringan pejabat korup yang bekerja sama dengan kontraktor tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kasus ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Banyak pihak mendesak agar Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus ini tanpa pandang bulu. Pemerintah pun menyatakan komitmennya untuk menindak tegas para pelaku dan memastikan transparansi dalam pengelolaan perusahaan negara, terutama di sektor energi yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Di tengah skandal ini, Pertamina menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan operasionalnya tetap berjalan dengan baik. Kasus ini menjadi pengingat bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan berat, terutama dalam mengawasi perusahaan-perusahaan BUMN yang memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional.***