MAKNews, Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) akan segera menjadi pembahasan prioritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah masa reses berakhir pada 23 Juni 2025. Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menegaskan komitmen pemerintah untuk menuntaskan revisi ini demi menghadirkan payung hukum yang lebih modern dan relevan.
Pernyataan Menteri Supratman disampaikan di sela-sela acara sosialisasi RKUHAP di(12/6)
“KUHAP yang sekarang sudah tidak lagi relevan dengan dinamika zaman dan tuntutan keadilan masyarakat. Kita membutuhkan sebuah sistem hukum acara pidana yang adaptif, terutama dalam menghadapi bentuk-bentuk kejahatan baru,” ujar Supratman. Ia menambahkan bahwa pemerintah telah mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHAP.
Urgensi Pembahasan
Urgensi pembahasan RKUHAP juga diutarakan oleh Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, di Gedung Parlemen (13/6). Menurutnya, RKUHAP menjadi kunci penting bagi penyelesaian dua undang-undang lain yang masih tertunda. “Ini adalah fondasi. RKUHAP harus selesai agar undang-undang lain yang terkait bisa segera ditindaklanjuti,” jelas Adies.
Salah satu poin krusial dalam RKUHAP yang menjadi sorotan adalah pembatasan waktu status tersangka yang diusulkan tidak boleh lebih dari dua tahun, serta penerapan restorative justice yang lebih komprehensif. Diharapkan perubahan ini dapat membawa kepastian hukum dan efisiensi dalam proses peradilan pidana.
Kritik dan Masukan
Namun, percepatan pembahasan RKUHAP ini juga memicu sejumlah masukan kritis dari para pakar dan pengamat hukum. Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mengingatkan akan pentingnya kehati-hatian.
“Perubahan KUHAP harus benar-benar dihitung dampaknya secara cermat. Jangan sampai semangat modernisasi justru menciptakan celah baru untuk penyalahgunaan kekuasaan,” kata Hikmahanto saat dihubungi. Ia mempertanyakan apakah pembatasan waktu tersangka sudah mempertimbangkan kompleksitas kasus-kasus besar seperti korupsi atau terorisme.
Senada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyampaikan usulan substansial terkait RKUHAP. Salah satunya adalah syarat pendidikan minimal sarjana hukum bagi penyelidik dan penyidik. “Ini esensial untuk meningkatkan profesionalisme dan kualitas penegakan hukum. Dengan latar belakang pendidikan yang memadai, diharapkan proses penyidikan dapat lebih akuntabel,” ujar sumber internal KPK yang enggan disebut namanya, di Jakarta (10/6). KPK juga menekankan perlunya pengaturan tenggang waktu penanganan perkara secara jelas untuk menghindari penundaan.
Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menyoroti aspek perlindungan hak asasi manusia. Berbicara di forum diskusi di Jakarta (11/6) Wahyudi menegaskan, “Penting untuk memastikan bahwa semangat peradilan yang adil dan hak-hak tersangka serta korban benar-benar terjamin. Jangan sampai semangat pemberantasan kejahatan mengorbankan prinsip-prinsip HAM.” Ia juga menekankan perlunya mekanisme pengawasan yang kuat di setiap tahapan proses pidana.
Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Eddy OS Hiariej, menyarankan agar RKUHAP tidak hanya berfokus pada aspek prosedural. “Revisi ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem peradilan pidana kita, termasuk aspek budaya penegakan hukum. Tanpa perubahan budaya yang signifikan, revisi undang-undang saja tidak akan cukup,” papar Eddy saat dihubungi (14/6) juga mengusulkan agar RKUHAP secara tegas mengatur kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum untuk mencegah tumpang tindih.
Pembahasan RKUHAP pasca-reses ini diharapkan menjadi langkah maju dalam reformasi hukum di Indonesia. Sinergi antara pemerintah dan DPR, dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak, akan menjadi kunci untuk melahirkan produk hukum yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan keadilan di masa depan.***