Vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap Thomas Trikasih Lembong dalam kasus impor gula 2015-2016 adalah cermin buram sistem peradilan Indonesia yang terjebak dalam pusaran politik. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada 18 Juli 2025 ini mengabaikan semangat pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa kebijakan tidak boleh dipidanakan, justru menjadikan Tom sebagai korban kriminalisasi atas keputusan administratif tanpa bukti keuntungan pribadi atau mens rea.
Tuduhan bahwa ia lebih mengedepankan ekonomi kapitalis ketimbang ekonomi demokrasi dan Pancasila terasa sebagai dalih ideologis tanpa dasar kuat, mengingat kebijakan impor gula diambil dalam rapat terbatas di bawah Presiden untuk menjaga stabilitas harga—langkah yang sejalan dengan kepentingan rakyat. Seperti diketahui sekira tahun 2016 Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa kebijakan tidak boleh dipidanakan. Namun tampaknya diabaikan dalam kasus vonis Tom Lembong. Jokowi pernah menegaskan, terutama pada 2016 dalam berbagai kesempatan seperti rapat terbatas atau pidato publik, bahwa pejabat publik harus diberi ruang untuk mengambil kebijakan tanpa ancaman kriminalisasi, selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik dan sesuai prosedur.
Kejanggalan ini diperparah oleh selektivitas hukum: menteri lain seperti Enggartiasto Lukita dan Muhammad Lutfi, yang juga menerbitkan izin impor gula dalam jumlah lebih besar, luput dari jerat hukum. Kasus serupa, seperti kriminalisasi Sofyan Basir (mantan Dirut PLN) yang akhirnya dibebaskan atau penyelidikan impor garam industri yang terhenti, menunjukkan pola berulang di mana pejabat publik dihukum atas kebijakan tanpa bukti korupsi pribadi.
Dugaan politisasi mengemuka karena posisi Tom sebagai pendukung Anies Baswedan pada Pilpres 2024, diperkuat oleh kritik tokoh seperti Anies, Rocky Gerung, dan pakar hukum Abdul Fickar Hadjar, serta pernyataan mantan Wakapolri Oegroseno tentang “balas dendam politik.”
Tom sendiri masih dapat melawan vonis ini melalui banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung, menekankan ketiadaan niat jahat dan tanggung jawab kolektif kabinet. Hakim di tingkat selanjutnya harus mengutamakan asas rasa keadilan masyarakat, mempertimbangkan konteks kebijakan, proporsionalitas hukuman, dan dampaknya terhadap kepercayaan publik.
Vonis ini, jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk yang melumpuhkan birokrasi, merusak kepercayaan investor, dan mengecewakan rakyat.
Indonesia membutuhkan peradilan yang menegakkan hukum secara adil, bukan alat politik yang menciptakan ketidakpastian. Keadilan sejati harus membebaskan pelayan publik yang bekerja untuk bangsa, bukan menjeratnya dalam pusaran kepentingan politik.***