Di tengah gempuran notifikasi, algoritma media sosial, dan maraknya kecanduan layar, tren digital detox atau detoksifikasi digital mulai menjadi gaya hidup baru di kalangan anak muda Indonesia. Tak hanya selebritas dan influencer, mahasiswa hingga pekerja kantoran kini mulai melirik gaya hidup “offline sementara” sebagai upaya menjaga kesehatan mental.
Menurut survei yang dirilis oleh Litbang Kominfo pada Mei 2025, sekitar 62% responden berusia 18–30 tahun mengaku pernah melakukan detoks digital, baik dengan menghapus aplikasi media sosial, membatasi waktu penggunaan gadget, hingga mengambil cuti dari dunia digital selama beberapa hari.
Salah satu pelaku detoks digital, Annisa Putri (23), mahasiswa di Jakarta, mengaku mulai merasa “overwhelmed” dengan notifikasi tanpa henti dan tekanan sosial di Instagram dan TikTok.
“Awalnya cuma mau coba puasa medsos selama seminggu, eh keterusan. Rasanya lebih tenang, bisa fokus sama kehidupan nyata,” ujarnya.
Fenomena ini juga diamini oleh psikolog klinis, Dr. Rizal Harsono. Ia menjelaskan bahwa detoks digital merupakan respons alami terhadap kelelahan digital (digital fatigue) yang kini semakin umum.
“Konten yang terus-menerus hadir tanpa henti bisa menimbulkan stres, gangguan tidur, dan bahkan kecemasan sosial. Detoks digital bisa menjadi intervensi mandiri yang cukup efektif jika dilakukan dengan bijak,” katanya.
Namun demikian, Dr. Rizal juga mengingatkan bahwa detoks digital bukan solusi instan. “Intinya bukan sekadar lepas dari ponsel, tapi belajar mengatur relasi sehat dengan teknologi,” tambahnya.
Di sisi lain, sejumlah startup teknologi justru merespons tren ini dengan menciptakan aplikasi yang… membantu orang menghindari aplikasi lain. Aplikasi seperti OneSec, Freedom, dan Forest kini makin populer sebagai alat bantu fokus dan mengurangi distraksi digital.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan keseimbangan digital, tren detoks digital tampaknya bukan sekadar gaya hidup sementara. Mungkin saja, ini adalah awal dari perubahan cara generasi muda memaknai “terhubung”.