Urgensi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Kebutuhan Atau Ambisi

Urgensi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Kebutuhan Atau Ambisi
Ilustrasi Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia
Advertisements

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan di bawah kepemimpinan Menteri Fadli Zon telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat, akademisi, dan sejarawan. Dengan anggaran Rp 9 miliar dan target penyelesaian pada Agustus 2025 sebagai “hadiah” peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, proyek ini bertujuan menghasilkan 10 jilid buku sejarah nasional yang mencakup periode dari prasejarah hingga era Reformasi. Meski dianggap sebagai upaya memperbarui narasi sejarah dengan perspektif Indonesia-sentris, inisiatif ini menuai kritik tajam karena sejumlah alasan mendasar: kurangnya transparansi, potensi bias politik, dan risiko penyederhanaan sejarah yang dapat mengaburkan fakta serta meminggirkan narasi kelompok tertentu. HIngga kini masih menuai polemik menjelang batas waktu bulan Agustus 2025.

Salah satu kritik utama terhadap proyek ini adalah prosesnya yang dianggap tertutup dan terburu-buru. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyoroti bahwa informasi mengenai tim penulis, yang diklaim terdiri dari 113 sejarawan dari 34 perguruan tinggi, tidak diungkap secara jelas kepada publik. Anggota Komisi X DPR, Habib Syarief Muhammad, bahkan menyatakan kesulitan memperoleh daftar nama tim penulis, menunjukkan kurangnya keterbukaan dalam proses penyusunan. Padahal, sejarah adalah memori kolektif bangsa yang seharusnya melibatkan partisipasi luas dan uji publik yang transparan, sebagaimana ditekankan oleh Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian. Tanpa proses inklusif, proyek ini berisiko kehilangan legitimasi akademik dan dianggap sebagai alat propaganda.

Potensi Bias Politik dan Narasi Tunggal

Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan ulang ini bertujuan menghapus bias kolonial dan memperkuat identitas nasional dengan perspektif Indonesia-sentris. Namun, pernyataan kontroversialnya, seperti meragukan keberadaan pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998, menimbulkan kecurigaan bahwa proyek ini dapat digunakan untuk memutarbalikkan fakta sejarah demi kepentingan politik tertentu. Pernyataan tersebut, yang kemudian dilunakkan dengan permintaan bukti lebih lanjut, bertentangan dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta dan Komnas HAM yang telah mengakui peristiwa tersebut sebagai bagian kelam sejarah Indonesia. Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa sejarah harus ditulis dengan jujur tanpa menghapus peran siapa pun, namun pernyataan Fadli Zon menunjukkan adanya risiko seleksi narasi yang condong pada “tone positif” untuk menghindari kritik terhadap masa lalu, seperti yang diungkapkan dalam wawancara pada 6 Juni 2025.

Baca Juga  Jaring Oligarki di Pagar Laut: Tangkaplah Kawanan Teri, Sang Kakap Biar Berlalu

Kekhawatiran ini diperkuat oleh pernyataan bahwa hanya dua dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui negara akan dimasukkan dalam narasi sejarah baru. Hal ini memicu tuduhan dari kalangan aktivis, seperti Usman Hamid, bahwa proyek ini berpotensi menghilangkan peristiwa atau tokoh yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Penulisan sejarah dengan pendekatan “tone positif” yang menonjolkan prestasi dan menghindari “kesalahan masa lalu” berisiko menciptakan narasi tunggal yang tidak hanya mengaburkan kebenaran, tetapi juga mereduksi kompleksitas sejarah Indonesia.

Marginalisasi Kelompok Tertentu

Kritik lain datang dari sejarawan seperti Albert Rumbekwan dari Papua, yang menyoroti minimnya representasi sejarah Papua dalam proyek ini, padahal wilayah tersebut memiliki catatan sejarah yang kaya setidaknya sejak 500 tahun lalu. Selain itu, Mohammad Refi Omar Ar Razy dari Universitas Negeri Surabaya menilai narasi yang disusun cenderung elitis dan kurang menyoroti peran perempuan dalam sejarah Indonesia. Penulisan sejarah yang tidak inklusif terhadap kelompok-kelompok marginal, seperti perempuan, masyarakat adat, atau komunitas di wilayah periferi, dapat memperdalam ketimpangan representasi dan memperlemah tujuan proyek ini untuk mempersatukan bangsa.

Urgensi Penulisan Ulang: Kebutuhan atau Ambisi?

Fadli Zon berargumen bahwa Indonesia telah absen dari penulisan sejarah nasional selama 26 tahun, sehingga proyek ini diperlukan untuk memperbarui catatan sejarah, terutama dengan temuan baru seperti penelitian arkeologi di Gua Leang-Leang Maros. Namun, kritik dari AKSI dan sejarawan seperti Truman Simanjuntak, yang mengundurkan diri karena ketidaksetujuan terhadap perubahan istilah “prasejarah” menjadi “sejarah awal,” menunjukkan bahwa proyek ini terkesan dipaksakan. Penulisan sejarah memang perlu diperbarui seiring temuan baru, tetapi proses yang tergesa-gesa dengan tenggat waktu Agustus 2025 menimbulkan pertanyaan apakah kualitas akademik dapat terjaga. Jaleswari Pramodhawardani dari Lab 45 menegaskan bahwa penulisan sejarah harus melibatkan dialog panjang dan mendalam, bukan sekadar proyek instan yang berpotensi manipulatif.

Baca Juga  RUU Kejaksaan, Polri dan TNI: Ancaman Terhadap Supremasi Hukum dan Demokrasi
Rekomendasi: Transparansi, Inklusivitas, dan Integritas Akademik

Untuk menjaga integritas proyek ini, Kementerian Kebudayaan harus memprioritaskan transparansi dengan mengungkap daftar tim penulis, metodologi, dan draft awal untuk uji publik. Proses penulisan harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sejarawan independen, aktivis, dan komunitas marginal, agar narasi yang dihasilkan tidak bias dan mencerminkan keragaman Indonesia. Selain itu, pemerintah perlu menghindari pendekatan “sejarah resmi” yang berpotensi menciptakan narasi tunggal, sebagaimana diperingatkan oleh Marzuki Darusman dari AKSI. Sejarah harus menjadi cermin kebenaran, bukan alat untuk memoles citra atau kepentingan politik tertentu.

Sejarah adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia memiliki potensi untuk memperkuat identitas nasional, tetapi hanya jika dilakukan dengan integritas, keterbukaan, dan penghormatan terhadap fakta. Tanpa itu, inisiatif ini justru dapat memperdalam perpecahan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjaga warisan budaya bangsa.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *