MAKNews, Makalengka – Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka, yang dirancang sebagai salah satu bandara terbesar di Indonesia, kembali menjadi sorotan tajam. Kritik utama yang terus mengemuka adalah soal lokasinya yang dianggap “nanggung” atau kurang strategis, sehingga berimbas pada minimnya aktivitas dan tingginya beban operasional.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, secara terbuka mengungkapkan kekhawatirannya terkait kondisi finansial Bandara Kertajati. Dalam pernyataannya baru-baru ini, ia menyebut bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus menanggung kerugian operasional yang fantastis, mencapai Rp 60 miliar setiap tahunnya.
“Bandara Kertajati ini setiap tahun kita nombok Rp 60 miliar. Ini beban yang cukup besar bagi keuangan daerah,” ujar Dedi Mulyadi, menekankan Bandara Kertajati sebagai salah satu pos pengeluaran signifikan yang perlu dicarikan solusi.
Kritik mengenai lokasi Bandara Kertajati bukanlah hal baru. Jauh sebelum Dedi Mulyadi menyoroti kerugiannya, Presiden terpilih Prabowo Subianto pun pernah melayangkan kritik serupa. Pada masa kampanye Pemilihan Presiden 2019, Prabowo menyoroti pembangunan Bandara Kertajati (beserta proyek lain seperti LRT Palembang) sebagai contoh proyek infrastruktur yang dibangun “grusah-grusuh” atau tanpa kajian yang matang.
“Infrastruktur itu untuk rakyat, bukan rakyat untuk infrastruktur,” tegas Prabowo kala itu, mengindikasikan bahwa proyek-proyek tersebut berpotensi menjadi “monumen” yang tidak termanfaatkan secara optimal oleh masyarakat karena perencanaan yang kurang efisien dan tidak memperhatikan aspek kepentingan serta manfaat bagi rakyat.
Meskipun secara fasilitas Bandara Kertajati tergolong modern dan megah, rendahnya tingkat okupansi dan aktivitas penerbangan telah menjadikannya ikon “bandara sepi” yang terus memicu perdebatan. Situasi ini menciptakan dilema bagi pemerintah daerah yang harus terus mengucurkan dana untuk biaya operasional, pemeliharaan, serta gaji karyawan, sementara pendapatan dari bandara belum mampu menutup pengeluaran.
Pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi, yang menggemakan kembali kekhawatiran serupa dengan kritik yang pernah dilontarkan Prabowo Subianto, diharapkan dapat memicu evaluasi mendalam dan langkah konkret dari berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah pusat dan pihak pengelola, untuk mencari solusi jangka panjang. Integrasi moda transportasi yang lebih efektif, pengembangan kawasan sekitar bandara, atau optimalisasi rute penerbangan yang lebih menarik, menjadi opsi-opsi yang perlu dipertimbangkan serius agar Bandara Kertajati dapat berfungsi optimal dan tidak lagi menjadi beban keuangan daerah.***