Efisiensi Di Tengah Sistem Koruptif

Efisiensi Di Tengah Sistem Koruptif
Advertisements

Oleh : Lukman Hakim


Terungkapnya kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)  kembali membuka mata kita akan kenyataan pahit: praktik korupsi masih marak di lingkungan kementerian/lembaga (K/L). Kasus ini, yang diduga berkaitan dengan perizinan dan pengawasan tenaga kerja asing, bukan sekadar insiden tunggal, melainkan cerminan dari tantangan sistemik yang masih berakar dalam birokrasi Indonesia.


Sebelumnya, di kementerian ini juga ada kasus terkait perizinan tenaga kerja asing (TKA) yang melibatkan oknum di kementerian tersebut. Pengungkapan kasus-kasus ini menunjukkan bahwa celah korupsi, terutama di sektor perizinan dan pengawasan, sudah lama menjadi masalah kronis. Kondisi ini membuat kasus OTT Wamenaker Noel menjadi momentum penting untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh dan bukan sekadar menambal-sulam masalah.


Kasus OTT yang menjerat Wamenaker Noel seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Ini menunjukkan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan, celah untuk korupsi, terutama di sektor perizinan, masih terbuka lebar. Dalam kasus ini, posisi strategis Wamenaker diduga dimanfaatkan untuk melancarkan praktik suap, yang merugikan negara dan mencederai kepercayaan publik. Kejadian ini mempertegas bahwa reformasi birokrasi, khususnya di area-area yang rentan korupsi, harus terus-menerus diperkuat.


Setelah kasus ini mencuat, pertanyaan yang muncul adalah: seberapa mendesak penunjukan pengganti Wamenaker? Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa kekosongan jabatan ini harus segera diisi agar roda organisasi tidak terhambat. Namun, di sisi lain, ada argumen kuat bahwa tidak perlu terburu-buru menunjuk pejabat baru.

Baca Juga  #IndonesiaGelap: Suara Mahasiswa Melawan Pemotongan Anggaran


Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sudah memiliki struktur organisasi yang lengkap dengan Menteri dan jajaran Direktur Jenderal (Dirjen) yang mumpuni. Dengan mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sudah ada, Kemenaker dapat tetap menjalankan fungsinya secara efektif. Jabatan Wamenaker, meski penting, bisa dianggap sebagai pendukung. Dengan memaksimalkan peran jajaran Dirjen dan staf profesional yang ada, pekerjaan di Kemenaker dapat berjalan tanpa hambatan berarti. Langkah ini justru bisa menjadi momentum untuk meningkatkan efisiensi dan menunjukkan bahwa birokrasi tidak bergantung pada satu atau dua posisi kunci saja.


Wakil Menteri : Imbalan Politik atau Kebutuhan Profesional?


Kasus ini juga kembali memunculkan perdebatan tentang esensi dari jabatan wakil menteri. Secara hukum, posisi wakil menteri dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan bahwa jabatan ini dapat diangkat “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus”. Aturan ini diperjelas dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 68 Tahun 2019 yang mengatur tugas dan fungsi wakil menteri.
Namun, terdapat dugaan kuat bahwa praktiknya sering kali bergeser dari tujuan normatif tersebut. Posisi wakil menteri sering kali bukan murni didasarkan pada kebutuhan profesional dan beban kerja yang spesifik, melainkan sebagai imbalan politik atau “jatah” bagi para pendukung dan relawan yang telah berkontribusi dalam kontestasi politik. Jika asumsi ini benar, maka korupsi yang terjadi di level wakil menteri tidak hanya merupakan kelemahan personal, tetapi juga cerminan dari sistem politik yang mendasari penempatan pejabat tersebut. Dengan demikian, penundaan penunjukan pengganti juga memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang kriteria penempatan pejabat, memastikan bahwa mereka yang terpilih benar-benar memiliki kapasitas dan integritas, bukan sekadar memiliki “jasa” politik.

Baca Juga  FOMO: Gaya Hidup Digital yang Diam-Diam Menguras Emosi


Ketimbang fokus pada penunjukan pengganti, Kemenaker sebaiknya memanfaatkan momentum ini untuk melakukan perbaikan fundamental dalam sistemnya. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

Peetana, evaluasi mendalam dengan mengidentifikasi titik-titik rawan korupsi lainnya dalam birokrasi. Kedua, transparansi total, memastikan seluruh proses perizinan, pengawasan, dan pelayanan publik di Kemenaker harus dibuat transparan dan dapat diakses oleh publik.

Ketiga, profesionalisme denhan program peningkatan integritas dan profesionalisme aparatur sipil negara (ASN) harus menjadi prioritas. Keempat, perkuat pengawasan internal dan eksternal, termasuk kolaborasi dengan lembaga antikorupsi.

Dan yang tak kalah penting adalah digitalisasi penuh pada semua layanan perizinan, khususnya yang terkait dengan tenaga kerja asing. Ini akan meminimalisir interaksi langsung antara pemohon dan petugas, yang kerap menjadi celah korupsi.

Pendekatan ini akan menghasilkan dampak jangka panjang yang lebih signifikan daripada sekadar menunjuk pejabat baru. Jika pengganti Wamenaker ditunjuk tanpa perbaikan sistem, tidak ada jaminan bahwa kasus serupa tidak akan terulang.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *