Presiden Joko Widodo bukan hanya dikenal karena gaya kepemimpinannya yang pragmatis dan dekat dengan rakyat, tetapi juga karena kebiasaannya yang tak lazim: melakukan reshuffle kabinet atau pengumuman politik penting pada hari Rabu Pon dalam penanggalan Jawa. Ini bukan kebetulan belaka. Dalam kebudayaan Jawa, hari weton memiliki makna spiritual dan simbolik yang sangat kuat, dan Rabu Pon diyakini sebagai hari yang sakral dan penuh kekuatan oleh sebagian kalangan, terutama dalam tradisi Kejawen.
Fenomena ini menimbulkan beragam tafsir. Di satu sisi, publik melihatnya sebagai bentuk kepercayaan pribadi Jokowi terhadap sistem penanggalan Jawa yang diwariskan secara turun-temurun. Jokowi, sebagai tokoh politik yang lahir dan besar di Solo, jantung kebudayaan Jawa, tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai tradisi lokal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa di balik pencitraan modern dan teknokratisnya, Jokowi tetap membawa narasi budaya dalam praktik kekuasaannya.
Namun di sisi lain, pengulangan reshuffle di hari Rabu Pon juga dapat dibaca secara politis. Dengan memilih hari yang dianggap “baik” atau penuh keberuntungan, Jokowi seakan ingin memberi pesan bahwa setiap langkahnya telah diperhitungkan secara matang, bahkan hingga ke ranah spiritual. Ini bisa menjadi upaya untuk membungkus keputusan politik yang kontroversial dengan legitimasi simbolik. Dalam konteks politik, simbol memiliki daya sugesti yang kuat seolah-olah keputusan yang diambil pada hari yang “baik” juga adalah keputusan yang benar dan tak terbantahkan.
Dalam perspektif semiotic practices, kebiasaan ini dapat dibaca sebagai strategi komunikasi kekuasaan melalui simbol dan tanda-tanda budaya. Rabu Pon bukan sekadar waktu dalam kalender, melainkan sebuah penanda yang bermakna dalam semesta tanda masyarakat Jawa. Dengan memilih hari tersebut, Jokowi tidak hanya membuat keputusan politik, tetapi juga menciptakan sebuah pertunjukan simbolik yang mengandung pesan kultural. Ia sedang melakukan produksi makna, yakni bagaimana sebuah tindakan politik dikemas dalam bahasa budaya yang dapat dikenali dan diterima publik. Praktik semacam ini adalah bagian dari apa yang disebut sebagai produksi makna dalam semiotika: bahwa tindakan politik tak hanya bersifat fungsional, tetapi juga komunikatif dan simbolis.
Lebih jauh lagi, kebiasaan ini bisa dimaknai sebagai bentuk pencitraan halus bahwa kekuasaan Jokowi tidak hanya bersandar pada hitungan rasional dan kalkulasi kekuasaan semata, tapi juga mendapat semacam “restu kosmis”. Dalam budaya politik Jawa, seorang pemimpin yang mampu menyelaraskan diri dengan harmoni alam dan semesta akan dianggap sebagai pemimpin yang ideal. Maka tak heran jika Jokowi memainkan peran tersebut, sadar atau tidak, dalam membangun narasi kepemimpinannya. Dalam kacamata semiotik, ini memperkuat performativitas kekuasaan yaitu bagaimana tindakan tertentu dipentaskan dengan cara tertentu untuk menciptakan kesan tertentu. Dengan memanfaatkan simbol budaya lokal, Jokowi menciptakan makna bahwa pemerintahannya tidak hanya rasional dan modern, tapi juga memiliki kedalaman spiritual dan kultural.
Namun penting juga untuk mengkritisi aspek ini. Ketika keputusan publik seperti reshuffle kabinet yang menyangkut nasib banyak orang terlalu dilekatkan pada simbolisme dan mistisisme, ada risiko bahwa proses politik menjadi tidak transparan dan tidak rasional. Kebijakan publik seharusnya didasarkan pada evaluasi objektif dan akuntabilitas, bukan pada waktu-waktu yang diyakini “keramat”. Masyarakat berhak tahu apakah pergantian menteri dilakukan karena ketidakcakapan, konflik kepentingan, atau memang ada agenda politik yang lebih besar, bukan semata karena “hari baik” sudah tiba.
Pada akhirnya, Jokowi dengan Rabu Pon-nya mencerminkan wajah politik Indonesia yang unik: campuran antara modernitas dan spiritualitas lokal. Ini bisa menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi kelemahan jika tidak diimbangi dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab. Simbolisme memang penting dalam politik, tetapi jangan sampai ia menutupi substansi yang lebih esensial: pelayanan publik yang efektif dan demokrasi yang sehat. Praktik semiotik dalam kekuasaan memang tak terhindarkan, tetapi tugas kita sebagai warga dan intelektual muda adalah terus membaca, mengkritisi, dan membongkar makna-makna yang tersembunyi di balik tanda-tanda itu.