Di tengah gejolak sosial yang melanda Indonesia pada akhir Agustus 2025, muncul gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat sebagai manifestasi ketidakpuasan mendalam masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dan lembaga legislatif. Dipicu oleh isu kenaikan tunjangan anggota DPR di saat rakyat bergulat dengan kesulitan ekonomi, tuntutan ini dirumuskan oleh beragam elemen masyarakat—mulai dari mahasiswa, aktivis, hingga influencer seperti Jerome Polin dan Salsa Erwina—sebagai seruan reformasi sistemik yang mendesak. Angka “17+8” bukan sekadar simbol; ia mewakili 17 tuntutan jangka pendek dengan deadline 5 September 2025, dan 8 tuntutan jangka panjang hingga 31 Agustus 2026, yang menuntut transparansi, keadilan, dan empati dari para pemimpin. Gerakan ini bukan hanya demo jalanan, tapi gelombang aspirasi yang menyebar luas di media sosial, menjadi slogan perlawanan terhadap ketidakadilan yang telah lama menumpuk.
Tuntutan-tuntutan ini mencakup spektrum luas isu krusial. Pada 17 poin jangka pendek, masyarakat menuntut reformasi besar-besaran DPR melalui audit dan peningkatan syarat anggota, reformasi partai politik dengan transparansi dana dan sanksi bagi kader bermasalah, serta reformasi Polri dan TNI untuk menghentikan kekerasan aparat dan kriminalisasi sipil. Selain itu, ada desakan untuk membekukan kenaikan gaji serta tunjangan DPR, moratorium kunjungan kerja luar negeri, pengesahan UU Perampasan Aset, pembatalan Proyek Strategis Nasional (PSN) bermasalah, evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), tolak revisi UU Minerba, serta jaminan upah layak dan penghentian PHK massal. Sementara 8 tuntutan jangka panjang fokus pada reformasi agraria, perlindungan pekerja migran, hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan, transisi energi terbarukan, penghentian tambang ilegal, kebebasan berpendapat, dan reformasi hukum untuk keadilan sosial tanpa diskriminasi. Secara keseluruhan, ini adalah blueprint untuk Indonesia yang lebih adil, di mana kepentingan rakyat ditempatkan di atas ambisi elite politik.
Respon dari DPR RI datang pada 5 September 2025, tepat di batas deadline, melalui enam poin keputusan yang diumumkan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pasca-rapat pimpinan dan fraksi. DPR menghentikan tunjangan perumahan efektif 31 Agustus 2025, memberlakukan moratorium kunjungan kerja luar negeri (kecuali undangan kenegaraan), memangkas tunjangan lain seperti listrik dan transportasi, membentuk tim investigasi independen untuk kekerasan aparat selama demo, menghentikan pembahasan RUU kontroversial, serta berkomitmen pada transparansi legislasi. Meski beberapa tuntutan seperti pembekuan kenaikan gaji dan pembatalan fasilitas baru telah dipenuhi sebagian, DPR telah melewati deadline tanpa pemenuhan penuh, dan progres terus dibahas dalam rapat kerja. Kritik pun muncul: kinerja DPR dinilai rendah, dengan skor 20/100 dari BEM KM UGM, dan partai politik baru mulai menindak kader bermasalah. Ini menunjukkan respon yang reaktif, bukan proaktif, di mana DPR tampak lebih fokus memperbaiki citra daripada mereformasi diri secara mendalam.
Sementara itu, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa sebagian tuntutan “masuk akal” dan sebagian perlu dirundingkan lebih lanjut. Prabowo menekankan penghormatan terhadap aspirasi rakyat dan kebebasan berpendapat, sambil tegas menolak aksi anarkis, serta memerintahkan TNI/Polri untuk menindak pelanggaran hukum. Langkah konkret termasuk reshuffle kabinet, dengan penggantian Menteri Keuangan Sri Mulyani oleh Purbaya Yudhi Sadewa, serta rapat koordinasi tingkat kementerian untuk membahas tuntutan.
Namun, pernyataan Menkeu Purbaya yang menyebut 17+8 sebagai “suara sebagian kecil rakyat” yang akan hilang jika ekonomi tumbuh 6-8%—karena rakyat akan “sibuk cari kerja dan makan enak”—menuai kritik tajam sebagai sikap meremehkan dan sombong. Pernyataan ini bukan hanya blunder komunikasi, tapi mencerminkan mindset elite yang mengabaikan akar masalah struktural di balik tuntutan rakyat. Secara keseluruhan, pemerintah baru memenuhi sebagian tuntutan, seperti evaluasi MBG dan reformasi Polri/TNI, tapi banyak yang masih dalam tahap awal atau belum terealisasi.
Di sinilah catatan kritis paling mendesak bagi negara: Saatnya mengedepankan kepentingan rakyat daripada berupaya membungkam suara mereka dengan berbagai dalih, seperti tuduhan makar atau anarkisme. Sejarah Indonesia penuh dengan contoh di mana kritik rakyat diredam melalui kekerasan aparat atau label-label subversif, yang justru memperburuk kepercayaan publik. Pernyataan Menkeu Purbaya, misalnya, bukan hanya kurang empati, tapi juga mengesampingkan fakta bahwa tuntutan ini mewakili aspirasi luas—dari ribuan demonstran di Jakarta hingga aksi di 110 kota lain—bukan “sebagian kecil” yang bisa dihilangkan dengan janji ekonomi semata.
Negara harus menyadari bahwa membungkam suara dengan dalih stabilitas hanya akan memicu ketidakstabilan lebih besar. Alih-alih, prioritaskan dialog terbuka, investigasi independen atas kekerasan selama demo, dan reformasi nyata yang menjawab akar masalah seperti korupsi, ketimpangan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika pemerintah terus meremehkan, seperti melalui reshuffle yang tak menyentuh substansi, maka gerakan seperti #RakyatTagihJanji—yang direncanakan mahasiswa dalam aksi besar di DPR—akan semakin menguat, membuktikan bahwa rakyat tak lagi bisa dibohongi.
Pada akhirnya, 17+8 bukan sekadar daftar tuntutan, tapi ujian bagi demokrasi Indonesia. Negara harus memilih: Menjadi pelayan rakyat yang responsif, atau terus mempertahankan status quo yang rapuh? Jawabannya ada pada tindakan nyata, bukan janji kosong. Rakyat menagih, dan waktu untuk berubah sudah tiba. Negara tak boleh jumawa setelah merasa memenuhi sebagian tuntutan karena di balik 17+8 ada korban 10 nyawa.***