Paradoks Kebangsaan: Pancasila dan Amarah Rakyat

Paradoks Kebangsaan: Pancasila dan Amarah Rakyat
Advertisements

Oleh : Lukman Hakim
Analis Kedai Ide Pancasila

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang arif, santun dan tepa-serila, tapi mengapa bangsa Indonesia mudah resah tersulut amarah ketika menghadapi ketidakadilan? Dalam kacamata sosiologis, kemarahan ini muncul akibat kesenjangan antara nilai-nilai luhur yang dianut dan realitas praktik kekuasaan yang tidak adil yang menyebabkan adanya disparitas antara budaya dan realitas — memunculkan sebuah paradoks.

Bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan tepo seliro (tenggang rasa), yang merupakan bagian integral dari identitas budaya yang beraneka.

Namun, ketika para petinggi negara, yang seharusnya menjadi teladan, justru menampilkan perilaku koruptif, arogan dan otoriter, nilai-nilai ini terasa dikhianati. Masyarakat merasa bahwa empati dan tenggang rasa yang mereka miliki tidak berbalas, terakumulasi hingga batas toleransi.

Apa yang terjadi di Pati dan aksi demonstrasi pada akhir Agustus lalu sepertinya sesuai dengan teori Ketidakpuasan Relatif yang dicetuskan oleh Ted Robert Gurr (1970). Ia menjelaskan bahwa gejolak sosial terjadi bukan (hanya) karena kemiskinan absolut, melainkan karena persepsi ketidakadilan yang dirasakan secara relatif. Rakyat dan juga para kelas menengah, anak-anak muda merasa dirugikan dibandingkan dengan para elite yang menikmati kekayaan dan kekuasaan tanpa akuntabilitas apalagi tepo seliro. Kesenjangan inilah menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam dan memicu amarah kolektif.

Ketika ketidakadilan meluas dan melahirkan gerakan bersama (dikomandoi atau tidak) terjadilah apa yang disebut “aksi kolektif”. Mancur Olson, dalam bukunya The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups (1965) menjelaskan bahwa individu akan terlibat dalam aksi kolektif ketika mereka merasakan ketidakadilan bersama dan memiliki solidaritas untuk melawan. Ketika satu orang merasa marah, kemarahannya mungkin terisolasi. Namun, ketika banyak orang mengalami dan merasakan hal yang sama, kemarahan tersebut menyatu dan menjadi kekuatan yang menggerakkan massa. Media sosial mempercepat proses ini dengan memungkinkan penyebaran informasi dan mobilisasi yang cepat. Dalam konteks ini pula lah berbagai kepentingan tertentu rentan masuk dan merasuki kesadaran massa, yang sering kali berakibat pada tindakan kekerasan dan penjarahan Bahkan dalam banyak kasus ada dugaan disengaja untuk mengaburkan tuntutan sejati rakyat atas ketimpangan yang terjadi seraya menciptakan kericuhan yang lebih parah.

Baca Juga  Transisi, Urbanisasi, Dan Humanisasi

Perilaku elit yang tak beradab, kebijakan yang serampangan tanpa partisipasi rakyat, ketimpangan yang menganga mencerminkan gagalnya implementasi nilai Pancasila dalam praktik bernegara berbangsa. Ketika sila-sila Pancasila, khususnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, hanya menjadi slogan tanpa implementasi nyata, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terkikis. Alih-alih berempati pada sulitnya kehidupan rakyat, para elit justru bersikap arogan. Kegagalan ini menciptakan ketidakpercayaan yang kronis dan memperkuat alasan untuk menyuarakan kemarahan. Pancasila telah dikalahkan oleh kepentingan segelintir orang. Sumpah jabatan hanya sebagai syarat formal tanpa makna.

Selama ini Pancasila san UUD 1945 hanya tercantum sebagai konsideran pada naskah-naskah kebijakan yang akan dicetak, namun diabaikan selama pembahasan substansial.

Secara psikologis, akumulasi frustasi dan ketidakpastian akibat ketidakadilan yang berulang dapat memicu keresahan dan amarah. Kemarahan adalah respons alami terhadap ancaman, dan ketika ancaman tersebut datang dari pihak yang seharusnya melindungi rakyat, amarah itu menjadi semakin kuat. Pada situasi ini pula rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memancing kericuhan.

Untuk menghindari konflik sosial yang berujung pada kekerasan seperti demonstrasi anarkis, para elite harus kembali merenungi dan memastikan nilai-nilai Pancasila sebagai rujukan dalam bersikap dan membuat kebijakan. Para pemangku kebijakan mesti berbudi pekerti yang luhur dalam menjalankan amanat rakyat. Pancasila harus dimenangkan sejak dalam ide dan pikiran para pemangku kebijakan.

Mengedepankan dialog/musyawarah, akuntabilitas dan keadilan. Mereka perlu secara proaktif mengatasi akar masalah, bukan sekadar merespons gejolak yang sudah terjadi hanya sebatas maaf dan retorika semata. Minimal berperilaku arif dan bijaksana selayaknya pelayan rakyat.

Para elit pun harus menunjukkan integritas, penuh kebajikan dan transparansi melalui pemberantasan korupsi, (yang urgensi adalah mengesahkan RUU Perampasan Aset) dan penegakan hukum yang adil.

Baca Juga  Pendapat Warga Terkait Danantara: Ada yang Pro dan Kontra

Elit harus membuka ruang dialog dan merespons keluhan masyarakat dengan empati bukan untuk cari legitimasi.

Kebijakan harus berpihak pada kesejahteraan rakyat dan mengurangi ketimpangan, dengan melibatkan partisipasi publik selama perumusan dan merujuk pada nilai-nilai Pancasila. Ingat pejabat pemerintahan maupun parlemen adalah pelayanan rakyat. Proses bernegara yang arif dan bijaksana pasti akan mendapatkan kepercayaan dan ketenangan rakyat. Hanya dengan itulah bangsa ini akan lepas dari keterpurukan dan bangkit menuju 100 tahun Indonesia Merdeka 2045 : Indonesia Emas!***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *