Transisi, Urbanisasi, Dan Humanisasi

Transisi, Urbanisasi, Dan Humanisasi

Oleh Gema Swara Ankaja

Refleksi tentang Urbanisasi, Perpindahan Penduduk, dan Keterlibatan yang Etis

Urbanisasi yang cepat mengubah Indonesia, hal ini juga membuat pembatas antara identitas pedesaan dan perkotaan semakin susah diterka, menunjukkan ketegangan mendalam antara label administratif dan realitas yang dialami. Ketika data gagal menangkap nuansa geografis dan sosial yang sebenarnya, hal ini memperkuat ketidakjelasan sistemik, menghapus cerita mereka yang terjebak dalam transisi, terutama populasi yang mengungsi. Kesenjangan antara kategorisasi birokratis dan pengalaman nyata menuntut penafsiran ulang tentang cara kita mengumpulkan dan memahami data, dengan menempatkan empati dan kreativitas sebagai pusat untuk menjembatani perbedaan ini.

Berbicara Kebenaran Melalui Metafora
Bagi komunitas yang mengungsi, bercerita bukan hanya tentang mengingat, tetapi juga alat perlawanan. Ketika kebenaran tidak dapat disampaikan secara langsung, metafora menjadi alat penting, cara untuk menyampaikan perlawanan, ketahanan, dan kritik melalui seni dan narasi. Pendekatan kreatif ini menantang struktur yang menindas tanpa terikat legalitas. Namun, ada bahaya dalam meromantisasi proses ini: memandang ‘seniman pengungsi’ hanya sebagai simbol trauma berisiko mengkomodifikasi penderitaan mereka. Seni yang lahir dari ‘pengungsian’ tidak boleh dibatasi oleh ekspektasi kesedihan; seni harus melampaui identitas, merangkul absurditas, kebahagiaan, dan hal-hal biasa.

Etika Representasi dan Fasilitasi
Melibatkan komunitas pengungsi dalam penelitian atau lokakarya kreatif memerlukan keseimbangan yang baik. Fasilitator harus melepaskan kendali, menciptakan ruang di mana peserta dapat membentuk narasi secara autentik. Ini berarti menolak keinginan untuk hanya menampilkan hasil yang “estetis”. Sebaliknya, fasilitator harus bisa merangkul yang mentah, tidak selesai, dan tidak nyaman (“yang buruk bersama yang indah”). Trauma tidak boleh mendominasi diskusi; fokus kepada kebahagiaan dan individualitas para partisipan pengungsi dapat memecah narasi dehumanisasi tentang “pengungsi yang menyedihkan.” Namun, ini bukan berarti mengabaikan kesulitan mereka, melainkan mengizinkan kompleksitas untuk hidup berdampingan.

Peran Penting dan Tantangan Organisasi yang Dipimpin Pengungsi (RLOs)
Kedekatan spatial dengan masyarakat lokal tidak selalu berarti bantuan langsung untuk populasi pengungsi. Seringkali, masyarakat lokal tidak berinteraksi atau bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang populasi pengungsi yang tinggal di sekitar mereka. Oleh karena itu, Organisasi yang Dipimpin Pengungsi (RLOs) memainkan peran penting. Mereka bukan hanya penyedia layanan, tetapi juga perantara budaya, menjembatani kesenjangan kepercayaan dan pemahaman. Namun, di Indonesia, RLOs menghadapi tantangan sistemik: kurangnya pengakuan hukum dari pemerintah menghalangi mereka dari akses pendanaan, tenaga kerja, dan kemitraan institusional. Tanpa status resmi, mereka tidak dapat membuka rekening bank, menyewa ruang, atau mengajukan hibah, yang melemahkan kemampuan mereka untuk beroperasi secara berkelanjutan. Penghapusan hukum ini mencerminkan ketidakjelasan yang lebih luas dari populasi pengungsi dalam data dan kebijakan, menjebak mereka dalam siklus ketergantungan.

Tantangan Suara Partisan dan Hambatan Sistemik
Komunitas pengungsi bukanlah kelompok yang seragam. Afiliasi mereka yang beragam dan seringkali partisan mempersulit advokasi kolektif. Namun, keragaman ini bisa menjadi kekuatan jika disambut dengan fasilitasi yang inklusif. Sementara itu, ketidakadilan sistemik, seperti pengucilan dari pendidikan formal, tidak dapat diselesaikan hanya dengan lokakarya. Intervensi kreatif mungkin dapat membantu secara sementara, tetapi perubahan yang berkelanjutan memerlukan pembongkaran struktur yang menghalangi akses ke sumber daya dan peluang. Untuk RLOs, ini termasuk reformasi hukum untuk mengakui agensi dan kemampuan mereka, bukan hanya menempatkan mereka sebagai “penerima amal.”

Menuju Kolaborasi yang Autentik
Inti dari keterlibatan yang etis adalah mengakui individu pengungsi sebagai manusia, bukan studi kasus atau simbol trauma. Metode partisipatif yang dinamis (misalnya, seni kolaboratif, cerita lisan) dapat mendemokratisasi penciptaan pengetahuan, membuat penelitian bermanfaat bagi peserta dan peneliti/fasilitator. Namun, fasilitator harus tetap kritis: Apakah kita memperkuat suara, atau malah menggunakannya? Apakah kita mengatasi gejala atau akar masalah? Fasilitator harus bisa untuk menempatkan RLOs sebagai pusat dalam pekerjaan ini, bukan sekadar “mitra lokal” yang dieksploitasi, tetapi sebagai pemimpin dengan keahlian. Ini juga menekankan urgensi untuk mengatasi marginalisasi hukum dan finansial mereka.

Jadi dapat disimpuljan bahwa urbanisasi dan pengungsian mengungkap retakan dalam cara masyarakat mengkategorikan, merepresentasikan, dan memberdayakan kelompok marginal. Untuk menghadapi ini secara etis, kita harus menggabungkan kreativitas dengan akuntabilitas, menggunakan metafora untuk menyampaikan kebenaran, seni untuk merebut kembali agensi, dan kebahagiaan untuk melawan reduksionisme, sambil terus memperjuangkan perubahan sistemik. Ini termasuk mendorong pemerintah untuk melegitimasi RLOs sebagai pemangku kepentingan yang setara, bukan proyek amal. Dengan begitu kita dapat melampaui tokenisme menuju solidaritas yang autentik, di mana komunitas pengungsi dilihat bukan sebagai masalah yang harus diselesaikan, tetapi sebagai mitra dalam membayangkan masa depan yang adil.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *