MAKNews, Jakarta – Pergantian sejumlah menteri dan pembentukan kementerian baru oleh Presiden Prabowo Subianto pada awal September 2025 menjadi sorotan publik. Langkah ini terjadi di tengah gelombang protes besar-besaran yang dipicu oleh kebijakan ekonomi dan dugaan ketidakpekaan pemerintah terhadap kesulitan rakyat. Reshuffle ini, yang secara langsung menargetkan beberapa pos strategis, memunculkan pertanyaan kritis: apakah langkah ini efektif untuk menjawab tantangan dan memulihkan kepercayaan publik?
Antara Janji Ekonomi dan Kontroversi Publik
Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan, menggantikan Sri Mulyani yang berpengalaman internasional, merupakan perjudian politik. Purbaya diberi tugas berat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, sebuah target yang sangat ambisius. Namun, performa Purbaya sejauh ini justru diwarnai kontroversi.
Ucapan kontroversialnya yang meremehkan aksi protes sebagai masalah “kurang makan” menimbulkan kemarahan publik. Pernyataan ini dinilai tidak sensitif dan menunjukkan arogansi, seolah-olah menganggap tuntutan rakyat hanyalah persoalan perut, bukan ketidakadilan dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan pemerintah.
Kontroversi ini diperburuk oleh perilaku anaknya di media sosial yang dinilai tidak etis. Anaknya, yang memamerkan kekayaan dan merendahkan orang miskin, semakin mengikis kepercayaan publik dan mempertegas jurang antara elit penguasa dan rakyat. Perilaku ini, terlepas dari niatnya, mencerminkan ketidakpekaan yang mendalam dan memperkuat pandangan bahwa pemerintah tidak memahami penderitaan rakyat.
Efisiensi Birokrasi dan Pembentukan Kementerian Baru
Langkah strategis lain yang diambil adalah pembentukan Kementerian Haji dan Umrah, dengan menunjuk Mochamad Irfan Yusuf sebagai menterinya. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan ibadah haji yang selama ini kerap dikeluhkan.
Namun, dari sudut pandang efisiensi birokrasi, keputusan ini menuai kritik. Alih-alih merampingkan, pemerintah justru menambah struktur birokrasi dan beban anggaran. Tugas yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Agama kini dipisah, yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang.
Pertanyaan mendasar muncul: apakah masalah pelayanan haji tidak dapat diselesaikan dengan perbaikan tata kelola di bawah struktur yang sudah ada? Pembentukan kementerian baru justru dapat menghambat efektivitas dan menimbulkan biaya operasional yang tidak sedikit, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program lain yang lebih produktif.
Tantangan di Depan Mata
Reshuffle kabinet oleh Presiden Prabowo Subianto jelas merupakan upaya untuk menanggapi desakan publik. Namun, dengan kontroversi yang menyelimuti menteri-menteri baru dan keputusan pembentukan kementerian baru, efektivitas langkah ini masih diragukan.
Target pertumbuhan ekonomi 8 persen, yang sangat ambisius, akan sulit tercapai jika pemerintah gagal memulihkan kepercayaan publik. Sikap kurang sensitif dan arogansi, baik dari menteri maupun keluarganya, justru memperlebar jurang komunikasi dengan rakyat. Selain itu, pembentukan kementerian baru berpotensi membebani anggaran dan menciptakan birokrasi yang tidak efisien.
Sejatinya, tantangan terbesar bagi Kabinet Merah Putih bukan hanya mencapai angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memulihkan empati, membangun komunikasi yang tulus, dan membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan elit politik. Tanpa kepercayaan publik, semua janji dan target akan sulit diwujudkan.***