Cerita politik Indonesia awal reformasi, di tahun 2001 itu memang rumit, tapi intinya adalah tentang pergeseran kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati. Nah, isu yang selalu muncul adalah apakah ini “kudeta” atau “suksesi konstitusional”? Mari kita lihat satu per satu.
Gus Dur: Presiden Pilihan MPR, Bukan Langsung Rakyat
Pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan pimpinan Megawati sebenarnya yang paling banyak dapat suara. Harusnya Megawati yang jadi presiden. Tapi, di sistem saat itu, presiden dipilih oleh MPR, bukan langsung oleh rakyat.
Nah, di MPR ini, ada kelompok yang disebut “Poros Tengah” pimpinan Amien Rais. Mereka berhasil menggalang kekuatan dan akhirnya “menjegal” Megawati. Hasilnya? Gus Dur lah yang terpilih jadi presiden, dan Megawati jadi wakilnya. Jadi, ya, Gus Dur dipilih secara konstitusional oleh MPR, tapi bukan hasil suara terbanyak langsung dari rakyat. Ini penting, karena legitimasi dari rakyat versus legitimasi dari MPR ini jadi salah satu sumber ketegangan.
Kenapa Gus Dur Dilengserkan? Ada “Buloggate” dan “Bruneigat
Setelah jadi presiden, Gus Dur memang dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang unik, blak-blakan, dan kadang bikin kaget. Hubungan beliau dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) seringkali panas. Banyak keputusan Gus Dur yang enggak disetujui DPR, dan kritik pun bermunculan.
Puncaknya adalah munculnya dua kasus besar:
Pertama, Buloggate: Ini soal dugaan penyalahgunaan dana non-bujeter Bulog sebesar Rp 35 miliar. Kedua kasus Bruneigate: Ini terkait dana bantuan US$ 2 juta dari Sultan Brunei yang katanya buat Aceh, tapi alurnya enggak jelas.
DPR lalu membentuk panitia khusus dan mengeluarkan Memorandum I dan II kepada Gus Dur, meminta penjelasan. Tapi Gus Dur, yang merasa ini upaya politik untuk menjatuhkannya, menolak menjelaskan secara rinci. Beliau merasa dirinya dikriminalisasi dan difitnah.
Gus Dur Tak Terbukti Korupsi, Tapi… ini yang penting —sampai sekarang, Gus Dur secara pribadi tidak pernah terbukti bersalah atau divonis korupsi dalam kasus Buloggate maupun Bruneigate.
Meskipun begitu, tuduhan-tuduhan ini dan penolakan Gus Dur untuk menanggapi memorandum DPR inilah yang menjadi alasan formal bagi DPR untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa. Jadi, bukan karena Gus Dur sudah terbukti korupsi, melainkan karena DPR menganggap ada pelanggaran etika dan konstitusional terkait kasus-kasus tersebut dan respons Gus Dur.
Momen Puncak: Maklumat Gus Dur dan Sidang Istimewa MPR
Gus Dur tahu Sidang Istimewa itu tujuannya untuk melengserkannya. Maka, di dini hari tanggal 23 Juli 2001, beliau mengeluarkan “Maklumat Presiden” yang isinya membekukan MPR/DPR dan Golkar. Beliau berharap TNI/Polri akan mendukungnya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. TNI/Polri dan sebagian besar kekuatan politik serta masyarakat tidak mendukung maklumat tersebut. MPR tetap jalan dengan Sidang Istimewanya. Hasilnya, Gus Dur diberhentikan, dan sesuai konstitusi, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri langsung dilantik jadi Presiden.
Jadi, “Kudeta” atau “Konstitusional”?
Dari kacamata hukum tata negara, peristiwa ini disebut suksesi konstitusional atau pemakzulan (impeachment). Artinya, semua proses dilakukan sesuai mekanisme yang diatur dalam konstitusi (Memorandum DPR, Sidang Istimewa MPR, hingga pelantikan Wapres sebagai pengganti). Tidak ada militer yang merebut kekuasaan, tidak ada senjata, tidak ada kekerasan.
Namun, dari sisi politik dan emosional, bagi banyak pendukung Gus Dur, peristiwa ini tetap terasa seperti “kudeta politik” atau pengkhianatan. Mereka merasa Gus Dur, sebagai pemimpin yang dicintai dan punya legitimasi moral, dijatuhkan secara tidak adil oleh intrik elite politik, dengan kasus korupsi yang tidak terbukti sebagai alat.
Makanya, perdebatan ini masih terus berlanjut. Ada yang melihatnya sebagai penegakan konstitusi, ada pula yang melihatnya sebagai tragedi politik. Masing-masing punya argumen kuatnya sendiri.
Bagaimanapun, peristiwa tersebut merupakan suatu yang dapat menjadi pelajaran politik bagi generasi ke generasi menuju kedewasaan politik, menyempurnakan tanpa mengulangi kesalahan.***