May Day dan Perjuangan Melawan Neoliberalisme

May Day dan Perjuangan Melawan Neoliberalisme

Oleh : Lukman Hakim

Hari Buruh Sedunia atau May Day, yang diperingati setiap 1 Mei, merupakan peringatan global yang menandai perjuangan buruh melawan ketidakadilan dan penindasan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Di Indonesia, hari ini memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perjuangan buruh sejak masa kolonial hingga era modern. Sejarah peringatan May Day berasal dari peristiwa Haymarket Affair (pembantaian Haymarket) di Chicago, Amerika Serikat pada 1886, di mana kaum buruh menuntut jam kerja delapan jam.

Di Indonesia, peringatan May Day dimulai pada 1918 bersamaan dengan gerakan anti-kolonial, yang ditandai protes pekerja perkebunan tebu pada 1842 sebagai salah satu penandanya. Pada masa Orde Lama (1948-1965), May Day dirayakan resmi, tetapi pada Orde Baru (1966-1998), pemerintah melarangnya dan menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja. Peringatan May Day pertama kali kembali digelar pada 1995 oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di Semarang dan Jakarta, dengan tuntutan upah Rp 7.000 dan stop intervensi militer dalam urusan perburuhan. Peringatan ini menandai kebangkitan gerakan buruh di era kediktaoran Soeharto.

Saat ini, Indonesia menghadapi deindustrialisasi dini, di mana sektor manufaktur menurun, hingga menyebabkan hilangnya lapangan kerja. Pengelolaan sumber daya alam yang bermasalah juga turut menyebabkan degradasi lingkungan dan konflik sosial. Pelanggaran hukum ketenagakerjaan, seperti perusahaan menahan ijazah, dan PHK massal, misalnya kebangkrutan Sritex yang mempengaruhi 10.000 pekerja pada 2025, juga menjadi isu utama. Sementara fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan kegelisahan generasi muda, dan di sisi lain banyak buruh terjebak skema ponzi, judi online, dan penipuan pekerjaan di luar negeri.

Deindustrialisasi di Indonesia terjadi sebagai dampak kebijakan liberalisasi ekonomi (neoliberal) yang mendorong pasar bebas dan mengurangi peran negara dalam melindungi industri domestik. Sejak era 1990-an, kebijakan seperti deregulasi perdagangan dan investasi asing, yang diperkuat oleh kesepakatan internasional seperti WTO, membuka pasar Indonesia bagi produk impor murah, sehingga kian melemahkan daya saing industri lokal, khususnya manufaktur. Data menunjukkan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB turun dari 32 persen pada 2002 menjadi di bawah 20 persen pada 2018 (Stratsea, 2023). Kurangnya proteksi, seperti tarif atau subsidi, serta ketergantungan pada ekspor sumber daya alam mentah, mempercepat penyusutan lapangan kerja industri dan memicu deindustrialisasi dini, sehingga merugikan perekonomian nasional.

Kolaborasi melawan neoliberalisme

Harus ada kolaborasi antara serikat buruh dan pelaku usaha nasional untuk memperkuat industri nasional dalam menghadapi neoliberalisme. Pelaku usaha nasional, dalam ini, tentu saja yang mempunyai visi kebangsaan nyata, bukan oligarki dan bukan antek-antek neoliberal. Kemandirian ekonomi nasional hanya terbangun ketika industri mandiri dan kuat.

Keduanya harus sepaham untuk memperjuangkan hak pekerja, seperti upah layak dan kondisi kerja yang adil, sekaligus mendorong hubungan industrial yang menekankan kerja sama, bukan konfrontasi. Mereka juga mengawal kebijakan agar tidak tunduk pada fleksibilitas pasar neoliberal yang merugikan pekerja. Buruh dan pelaku usaha nasional, khususnya UMKM dan industri lokal, juga harus sepaham untuk memperkuat ekonomi domestik dengan inovasi, efisiensi, dan ketahanan terhadap dominasi korporasi asing. Kolaborasi antara serikat buruh dan pelaku usaha dapat menciptakan ekosistem industri yang kompetitif namun berkeadilan, misalnya melalui pelatihan tenaga kerja dan pengembangan produk lokal, membuat skema pemberdayaan buruh dan keluarganya sebagai alternatif menyejahterakan buruh.

Negara harus berperan aktif melalui kebijakan protektif, seperti subsidi untuk industri strategis, insentif pajak bagi UMKM, dan penguatan BUMN sebagai tulang punggung ekonomi. Selain itu negara harus mengitegrasikan kebijakan bantuan sosial, salah satunya difokuskan untuk memberdayakan buruh, misalnya melalui koperasi keluarga buruh.

Investasi dalam riset dan teknologi, serta pendidikan vokasi, akan meningkatkan daya saing industri. Negara juga perlu membatasi liberalisasi pasar yang berlebihan, dengan menegakkan regulasi huhungan industrial yang kuat dan mendorong kemitraan publik-swasta yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Simultan dengan itu, semua harus dipastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mengutamakan keadilan, keberlanjutan, ramah lingkungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat. Ini mencakup penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) untuk proyek ekstraktif, pengelolaan limbah industri yang ramah lingkungan, dan rehabilitasi lahan pasca-eksploitasi. Prinsip FPIC mengharuskan proyek ekstraktif mendapatkan persetujuan masyarakat adat secara bebas, tanpa paksaan, sebelum proyek dimulai, dengan informasi yang jelas dan lengkap mengenai dampaknya.

Prinsip ini memastikan penghormatan terhadap hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka, sesuai standar internasional seperti Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Contohnya, pengelolaan tambang harus melibatkan masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan, bukan hanya sebagai objek, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan. Data menunjukkan bahwa 70 persen konflik sumber daya alam di Indonesia melibatkan pelanggaran hak masyarakat adat (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2023).

Pada level pemerintahan, tata kelola yang akuntabel dan berintegritas membutuhkan transparansi dalam pengambilan kebijakan, pengawasan ketat terhadap alokasi anggaran, dan penegakan hukum anti-korupsi. Lembaga seperti KPK harus diperkuat untuk mencegah kolusi dan nepotisme yang merusak industri nasional. Contohnya, kasus korupsi dalam proyek infrastruktur meningkatkan biaya hingga 30 persen (Transparency International, 2022). Pemerintahan yang bersih akan menciptakan iklim investasi yang sehat, mendukung industri nasional, dan memastikan manfaat ekonomi bisa dirasakan secara merata.

Penguatan industri nasional melawan neoliberalisme membutuhkan sinergi antara serikat buruh, pelaku usaha, dan negara. Dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, pengelolaan sumber daya yang adil, dan tata kelola bebas KKN, Indonesia dapat membangun industri yang kuat, berkelanjutan, dan berkeadilan

Namun, di atas itu semua, kaum buruh Indonesia harus melawan dan menuntut negara agar bersih dari regulasi yang merugikan dan pejabat pemburu rente, korup, menindas serta menjadi agen-agen neoliberal. Kaum buruh juga harus melawan korporasi yang semena-mena terhadap buruh dan rakyat. Untuk itu, kaum buruh harus bersatu dengan elemen tertindas lainnya.

Jangan terilusi dengan narasi-narasi populis negara, jangan pula terlena dengan jargon-jargon kerakyatannya. Buruh dan rakyat harus tetap kritis dan melawan setiap penyimpangan oleh penguasa.

Selamat Hari Buruh Sedunia!

Artikel ini pernah dimuat di merdika.id

May Day dan Perjuangan Melawan Neoliberalisme

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *