Ambisi 100 Sekolah Rakyat Per Tahun: Solusi Pengentas Kemiskinan atau Bom Waktu Baru ?

Ambisi 100 Sekolah Rakyat Per Tahun: Solusi Pengentas Kemiskinan atau Bom Waktu Baru ?
Ilustrasi Artifisial Inteligent

MAKNews, Jakarta – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menargetkan pendirian 100 sekolah rakyat setiap tahunnya. Ini adalah inisiatif ambisius yang diklaim akan memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi di Indonesia. Target ini disampaikan oleh Wakil Menteri Sosial (Wamenos) Agus Jabo Priyono dalam keterangan resmi Kementerian Sosial (Kemensos) pada Sabtu, 14 Juni 2025.

Menurut Agus Jabo, saat ini proses pembangunan sekolah-sekolah rakyat tersebut tengah berlangsung di sejumlah lokasi yang diusulkan oleh pemerintah daerah (pemda). “Setiap pemda mempunyai peluang untuk mengusulkan lahan,” jelas Agus Jabo. Namun, ia menekankan ada persyaratan ketat terkait lahan yang diajukan. “Lahannya luasnya harus sesuai, statusnya dimiliki pemerintah, dan dilampiri sertifikat,” tegas Wamenos.

Sekolah rakyat ini didesain sebagai institusi pendidikan gratis yang dilengkapi fasilitas asrama. Program ini secara khusus menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang terdaftar dalam desil 1 dan 2 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Tujuannya mulia: memberikan akses pendidikan berkualitas, gizi seimbang, dan lingkungan belajar yang kondusif bagi mereka yang paling membutuhkan, sehingga mampu mengentaskan diri dan keluarganya dari belenggu kemiskinan.

Satgas Lintas Kementerian

Untuk menyukseskan program skala nasional ini, Kemensos tidak bekerja sendiri. Sebuah Satuan Tugas (Satgas) gabungan telah dibentuk bersama kementerian dan lembaga terkait, menunjukkan komitmen lintas sektor. Tiga satgas utama telah dibentuk, masing-masing dengan fokus yang berbeda:

  • Satgas Kurikulum dan Guru: Dipimpin oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), satgas ini bertanggung jawab memastikan standar kurikulum yang relevan dan ketersediaan tenaga pengajar yang berkualitas.
  • Satgas Sarana dan Prasarana: Bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), satgas ini bertugas memastikan infrastruktur sekolah, termasuk bangunan kelas, asrama, fasilitas belajar-mengajar, dan area pendukung lainnya, memenuhi standar kenyamanan dan keamanan.
  • Satgas Siswa: Dipimpin langsung oleh Kemensos, satgas ini bertanggung jawab dalam identifikasi, seleksi, dan pembinaan siswa-siswa yang akan menempuh pendidikan di sekolah rakyat. Ini memastikan bantuan tepat sasaran kepada anak-anak dari keluarga termiskin.

Antusiasme terhadap program ini mulai terlihat di berbagai daerah. Pemerintah Kota Lhokseumawe menjadi salah satu pelopor dengan menyediakan lahan seluas 20 hektare untuk pembangunan sekolah rakyat di Desa Blang Panyang, Kecamatan Muara Satu.1 Luas ini jauh melebihi syarat minimal 8,5 hektare yang ditetapkan pemerintah pusat.

Baca Juga  Jakarta Barat Jadi "Pilot Project" Sekolah Swasta Gratis, Dimulai Tahun Ajaran 2025/2026

Wali Kota Lhokseumawe, Sayuti Abubakar, menyatakan optimisme tinggi terkait inisiatif ini. “Lahannya rata, bukan semak belukar, bisa langsung dibangun,” kata Sayuti dalam keterangan resmi Kemensos pada Sabtu, 14 Juni 2025.

Sayuti Abubakar juga menyampaikan data terkait kondisi kemiskinan ekstrem di wilayahnya. “Di Kota Lhokseumawe terdapat 6.600 orang yang masuk kategori miskin ekstrem, atau sekitar 4 persen dari jumlah penduduk keseluruhan yaitu 197.339 ribu orang,” jelasnya. Dengan data tersebut, kehadiran sekolah rakyat sangat dinantikan untuk membantu mengentaskan kemiskinan. Sekolah rakyat ini diharapkan mulai beroperasi pada Juli 2025,

Pandangan Kritis

Meski program sekolah rakyat dielu-elukan sebagai solusi progresif, sejumlah pakar dan pengamat pendidikan menyoroti potensi tantangan dan implikasinya terhadap sistem pendidikan nasional yang lebih luas.

Iman Zamakhsyari, perwakilan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dalam wawancara dengan sebuah media nasional pada 11 April 2025, menyuarakan kekhawatiran mengenai fragmentasi sistem pendidikan. “Kalau tiga kementerian menyelenggarakan sistem sendiri-sendiri, maka ini bukan lagi satu sistem nasional,” ujarnya. Iman juga menyoroti mekanisme rekrutmen guru dan skema penggajian. “Kalau bukan ASN, lalu dikontrak? Padahal mereka bekerja di institusi milik negara. Ini bisa melanggar UU ASN,” tambahnya. Potensi diskriminasi di kalangan guru juga menjadi perhatian jika guru-guru sekolah rakyat digaji lebih tinggi sementara banyak guru honorer di sekolah reguler masih berpenghasilan minim.

Lebih lanjut, Iman dari FSGI juga mempertanyakan kesiapan kurikulum sekolah rakyat yang dikabarkan akan menggunakan model multi-entry multi-exit. “Guru-guru butuh pelatihan dan sosialisasi. Tapi sampai sekarang, belum ada kejelasan tentang kurikulum yang dimaksud,” imbuhnya. Kurikulum yang bersifat personal dan berbasis capaian individu memang dapat menjadi keunggulan, namun memerlukan adaptasi yang signifikan bagi para pengajar.

Dr. Subarsono, pakar kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam pernyataannya kepada media lokal di Yogyakarta pada 14 Januari 2025, mengkritik bahwa pembangunan sekolah rakyat belum terlalu mendesak. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih membenahi sistem pendidikan konvensional yang sudah ada. “Masih banyak sekolah konvensional yang membutuhkan perhatian pemerintah, mulai dari bangunan sekolah yang rusak hingga gaji para guru terutama guru honorer yang masih memprihatinkan,” kata Subarsono. Ia menyarankan, jika tetap diadakan, sekolah rakyat sebaiknya diprioritaskan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang minim akses pendidikan.

Baca Juga  Pemerintah Berencana Revisi RUU Sisdiknas: Guru PAUD Bakal Jadi Profesional

Selain itu, potensi munculnya stigma terhadap sekolah rakyat sebagai “sekolah kelas dua” yang hanya menampung anak-anak miskin juga menjadi kekhawatiran. Sebuah kajian dari lembaga riset independen pada Mei 2025 menyebutkan bahwa penamaan “Sekolah Rakyat” berisiko menambah stigma dan segregasi sosial, yang pada akhirnya dapat mempertebal kesenjangan pendidikan. Untuk mencegah hal ini, rekomendasi yang muncul adalah menciptakan program pertukaran siswa, kolaborasi lintas sekolah, dan kegiatan bersama antara sekolah rakyat, sekolah unggulan, dan sekolah reguler untuk mengurangi segregasi dan membangun solidaritas sosial.

Di sisi lain, pendukung program ini, termasuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat hadir untuk melengkapi, bukan meniadakan sekolah yang sudah ada. Fokusnya adalah memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk belajar, terutama anak-anak yang selama ini termarjinalkan atau rentan putus sekolah karena faktor ekonomi. Konsep boarding school atau asrama dinilai efektif untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, menyediakan gizi seimbang, dan pembinaan karakter secara intensif, sesuatu yang mungkin sulit didapatkan di lingkungan asal siswa miskin ekstrem.

Pemerintah memang perlu memastikan koordinasi yang jelas antara Kemensos, Kemendikbudristek, dan kementerian lain yang terlibat agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan pengelolaan anggaran. Transparansi anggaran, kualitas pendidikan yang setara, serta akreditasi nasional yang jelas bagi lulusan sekolah rakyat juga krusial agar ijazah mereka diakui dan memberikan peluang yang sama di masa depan.

Program 100 sekolah rakyat per tahun oleh Pemerintahan Prabowo Subianto adalah langkah signifikan menuju pemerataan akses pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Namun, implementasinya harus disertai dengan perencanaan yang matang, pengawasan yang ketat, dan kesadaran akan potensi tantangan sistemik agar tidak menciptakan disparitas baru dalam lanskap pendidikan nasional.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *