MAKNews, Jakarta – Pada 14 Juni 2025, jutaan warga Amerika Serikat turun ke jalan dalam sebuah gelombang protes nasional bertajuk “No Kings”. Aksi ini dipicu oleh kekhawatiran atas gaya kepemimpinan Presiden Donald Trump yang semakin dianggap otoriter, terutama setelah ia kembali menjabat untuk periode kedua. Tanggal demonstrasi ini bukan tanpa makna: bertepatan dengan ulang tahun Trump yang ke-79 dan parade militer untuk memperingati 250 tahun Angkatan Darat AS, aksi ini dimaknai sebagai perlawanan simbolik terhadap pemusatan kekuasaan di tangan satu figur pemimpin.
Didukung oleh jaringan 50501 Movement dan berbagai organisasi progresif seperti ACLU dan MoveOn, demonstrasi ini menekankan penolakan terhadap kebijakan pemerintahan yang dianggap melemahkan norma-norma demokrasi, termasuk pemecatan besar-besaran pegawai negeri melalui Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang dipimpin Elon Musk.
Skala Aksi: Dari Philadelphia hingga Guam
Dengan lebih dari 5 juta peserta tersebar di lebih dari 2.000 titik di seluruh negeri, “No Kings” menjadi salah satu aksi protes terbesar dalam sejarah AS. Kota Philadelphia menjadi pusat aksi utama, tetapi mobilisasi juga terjadi di kota-kota besar seperti New York, Chicago, Los Angeles, hingga wilayah teritorial seperti Puerto Rico dan Guam. Bahkan, aksi solidaritas turut digelar di negara-negara lain, seperti Kanada, Inggris, dan Jepang, menandakan bahwa isu ini telah menarik perhatian global.
Insiden Tragis di Tengah Protes Damai
Meskipun sebagian besar aksi berlangsung damai dan tertib, sejumlah insiden memilukan tetap terjadi. Di Salt Lake City, seorang peserta aksi bernama Arthur Folasa Ah Loo seorang desainer asal Hawaii dan mantan kontestan acara “Project Runway” tewas akibat tembakan dalam sebuah upaya pengamanan terhadap serangan bersenjata. Di beberapa kota lain seperti Los Angeles dan Virginia, insiden kendaraan yang menabrak kerumunan menyebabkan luka-luka, meski tidak menimbulkan korban jiwa.
Seruan Tegas untuk Demokrasi
Esensi dari gerakan “No Kings” bukan semata-mata anti-Trump, tetapi lebih luas: ini adalah seruan tegas dari masyarakat untuk menolak gaya pemerintahan yang menyerupai kerajaan dan menyerukan kembali kepada prinsip-prinsip konstitusional Amerika. Para demonstran mengangkat berbagai isu, dari militerisasi lembaga sipil, pemangkasan hak-hak pekerja publik, hingga kekhawatiran terhadap konsentrasi kekuasaan dalam lingkaran elite teknologi dan bisnis.
Aksi ini menjadi simbol bahwa ketika demokrasi dianggap terancam, rakyat Amerika masih siap bersatu dalam solidaritas sipil. “No Kings” adalah pengingat kolektif bahwa Amerika didirikan atas dasar pemerintahan oleh rakyat, bukan oleh satu orang, dan bahwa dalam sebuah republik, tidak ada tempat bagi seorang raja—baik secara simbolik maupun nyata.