Semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan manusia, terutama dalam hal penalaran, pemecahan masalah, dan konsentrasi, mungkin telah mencapai puncaknya lebih dari satu dekade lalu dan kini mengalami penurunan.
Data dari berbagai penilaian pendidikan internasional dan studi tentang keterampilan kognitif orang dewasa mengungkap tren yang mengkhawatirkan: individu dari berbagai kelompok usia semakin kesulitan dalam berkonsentrasi, bernalar secara logis, dan memahami konsep numerik.
Pada hari Jumat, Financial Times Inggris menerbitkan esai berjudul “Apakah Manusia Telah Melewati Puncak Kekuatan Otak?” yang membahas fenomena ini dan menyajikan bukti yang mencengangkan.
Penurunan Keterampilan Kognitif dalam Jangka Panjang
Hasil terbaru dari Programme for International Student Assessment (PISA), ujian global yang didukung OECD untuk mengukur keterampilan membaca, matematika, dan sains pada remaja usia 15 tahun, menunjukkan bahwa skor telah mengalami penurunan sejak 2012.
Meskipun banyak perdebatan yang berfokus pada dampak gangguan pendidikan akibat pandemi COVID-19, data menunjukkan bahwa penurunan kinerja kognitif ini telah terjadi beberapa tahun sebelum pandemi.
Penurunan ini juga tidak terbatas pada remaja. Studi OECD yang meneliti keterampilan orang dewasa menunjukkan tren serupa di berbagai kelompok usia, dengan penurunan dalam kemampuan pemecahan masalah, rentang perhatian, dan pemahaman numerik dasar.
Salah satu statistik yang paling mengkhawatirkan menunjukkan bahwa sepertiga orang dewasa di Amerika Serikat (35%) kini kesulitan menerapkan penalaran matematika dasar untuk menilai validitas suatu pernyataan—peningkatan tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya. Di negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya, rata-rata 25% orang dewasa menghadapi tantangan serupa.
Sementara itu, rata-rata orang Amerika hanya membaca empat buku per tahun, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 12 buku. Di Inggris, rata-ratanya adalah 15 buku per tahun, sedangkan di Prancis mencapai 14 buku.
Peran Media Digital dan Informasi yang Berlebihan
Para peneliti mengaitkan penurunan kemampuan kognitif ini dengan perubahan drastis dalam cara manusia mengonsumsi informasi. Munculnya media digital telah mengalihkan perhatian manusia dari membaca dan pemecahan masalah yang mendalam menuju keterlibatan konstan dengan konten visual yang serba cepat.
Data dari studi Monitoring the Future, yang telah melacak kebiasaan siswa sekolah menengah di Amerika Serikat selama beberapa dekade, menunjukkan bahwa laporan tentang kesulitan berpikir, berkonsentrasi, atau mempelajari hal baru relatif stabil sepanjang tahun 1990-an dan 2000-an. Namun, sejak pertengahan 2010-an, jumlah siswa yang mengalami kesulitan tersebut meningkat tajam.
Periode ini bertepatan dengan dominasi ponsel pintar, media sosial, dan algoritma berbasis rekomendasi yang menghadirkan aliran konten tanpa henti, notifikasi, dan distraksi.
Platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter secara mendasar mengubah cara orang memproses informasi, menyebabkan rentang perhatian semakin pendek dan menurunkan daya tahan kognitif.
Dengan fitur scroll tanpa batas, video pendek berkecepatan tinggi, dan umpan berbasis algoritma, platform ini mengondisikan pengguna untuk menginginkan kepuasan instan dan lonjakan dopamin yang cepat, sehingga menghambat pemikiran mendalam atau fokus yang berkelanjutan.
Penelitian menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia telah menurun dalam satu dekade terakhir, dengan semakin banyak orang yang kesulitan bertahan dalam membaca konten panjang, diskusi mendalam, atau pemecahan masalah yang kompleks.
Serbuan notifikasi dan konten tanpa henti ini mendorong konsumsi pasif dibanding keterlibatan aktif, membuat otak lebih terbiasa mencari kecepatan dibanding substansi.
Akibatnya, banyak individu semakin kesulitan untuk berkonsentrasi pada tugas-tugas yang membutuhkan upaya jangka panjang, seperti membaca buku, mempelajari materi yang kompleks, atau mengevaluasi informasi secara kritis.
Perubahan ini berdampak besar pada pendidikan, produktivitas, dan bahkan wacana publik, di mana diskusi yang mendalam sering kali digantikan oleh reaksi singkat, keterlibatan yang dangkal, dan respons emosional yang instan.
Dalam bukunya yang terbit tahun lalu, The Anxious Generation, psikolog sosial Jonathan Haidt memperingatkan bahwa budaya ponsel pintar dan kecanduan media sosial telah memicu krisis kesehatan mental dan perkembangan kognitif, terutama di kalangan remaja.
Haidt berpendapat bahwa stimulasi digital yang berlebihan menyebabkan penurunan rentang perhatian, melemahnya kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatnya tingkat kecemasan—terutama di kalangan generasi yang tumbuh dengan media sosial sebagai bagian utama dari kehidupan mereka.
Penurunan Minat Membaca di Tengah Konsumsi Pasif
Penurunan kebiasaan membaca secara tradisional semakin mendukung teori bahwa konsumsi digital berperan dalam menurunnya kinerja kognitif.
Sebuah survei tahun 2022 menemukan bahwa kurang dari setengah orang Amerika melaporkan membaca buku dalam setahun terakhir, angka terendah dalam sejarah.
Sementara itu, waktu yang dihabiskan di depan layar, terutama di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, meningkat pesat, dengan konten yang lebih bersifat cepat dan dangkal, sehingga menghambat fokus yang mendalam.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pergeseran ke konsumsi informasi yang terfragmentasi dan pasif—daripada pembelajaran yang aktif dan terlibat—bisa melemahkan kemampuan otak untuk fokus, bernalar, dan menganalisis topik yang kompleks.
Apakah Tren Ini Bisa Dibalik?
Meskipun ada kekhawatiran tentang penurunan kecerdasan dan perhatian, beberapa ahli berpendapat bahwa kapasitas intelektual manusia secara mendasar masih tetap ada. Namun, mereka menekankan bahwa performa mental tidak hanya bergantung pada potensi bawaan, tetapi juga pada bagaimana keterampilan dikembangkan dan digunakan.
Beberapa politisi di Amerika Serikat telah mengusulkan undang-undang untuk membatasi waktu layar bagi anak-anak dan mengatur dampak media sosial terhadap pengguna muda. Senator Josh Hawley (R-MO) telah mengajukan rancangan undang-undang untuk melarang fitur media sosial yang adiktif dan menetapkan batas usia minimum bagi anak-anak yang menggunakan platform tersebut.
Pada Oktober 2023, Senator Ted Cruz, Ted Budd, dan Shelley Moore Capito memperkenalkan “Eyes on the Board Act,” yang bertujuan untuk membatasi akses siswa ke media sosial selama jam sekolah dan meningkatkan kontrol orang tua atas waktu layar anak-anak mereka.
Bahkan Gubernur Michigan yang berhaluan kiri, Gretchen Whitmer, baru-baru ini mengusulkan undang-undang untuk melarang penggunaan ponsel di sekolah.
Jika tren konsumsi digital dan menurunnya rentang perhatian terus berlanjut, dampak yang lebih luas terhadap pendidikan, produktivitas tenaga kerja, dan pengambilan keputusan dalam masyarakat bisa menjadi serius.
Beberapa peneliti mendorong reformasi pendidikan yang menekankan pemikiran kritis, logika, dan membaca mendalam, serta penggunaan media digital yang lebih disengaja untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap fokus dan kognisi.
Ray Bradbury dalam novelnya Fahrenheit 451 memperingatkan bukan hanya tentang sensor pemerintah, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat sendiri perlahan-lahan meninggalkan buku demi hiburan instan.
Dunia dystopian dalam novel tersebut tidak jatuh ke dalam tirani hanya karena pelarangan buku, tetapi karena rentang perhatian yang semakin pendek dan melemahnya pemikiran kritis membuat orang secara sukarela berhenti membaca.
Hal yang sama kini diperingatkan oleh para kritikus sosial seperti Jonathan Haidt: dunia nyata tengah mengalami proses serupa, di mana media sosial, konten berbasis algoritma, dan kebiasaan scrolling tanpa henti membentuk cara berpikir manusia yang lebih dangkal, lebih reaktif, dan kurang mendalam.***