Merenungkan Kembali dan Memahami Pancasila

Merenungkan Kembali dan Memahami Pancasila

Oleh : Lukman Hakim

Visi Soekarno tentang masyarakat adil dan makmur tanpa eksploitasi belum sepenuhnya terwujud. Ketimpangan ekonomi tetap menjadi tantangan besar, dengan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di berbagai lapisan pemerintahan menghambat kesejahteraan sosial. Selain itu, pelanggaran HAM berat, seperti kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 atau kekerasan di Papua, mencerminkan kegagalan menegakkan keadilan sosial.

Delapan puluh tahun yang lalu, pada 1 Juni 1945, di tengah semangat perjuangan kemerdekaan, Ir. Soekarno berdiri di hadapan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan visi yang membara, merumuskan dasar negara yang akan menyatukan Nusantara. Dalam pidatonya yang penuh gairah, Seokarno menyerukan Pancasila—lima sila yang menjadi jiwa dan falsafah hidup bangsa Indonesia: Kebangsaan Indonesia, Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pidato ini bukan sekadar kata-kata, tetapi nyala api yang menyalakan semangat persatuan di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya. Soekarno bermimpi tentang Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, di mana semua rakyat bersatu dalam semangat gotong royong untuk membangun negara yang “semua buat semua!”Dengan penuh keyakinan, Soekarno menegaskan bahwa Kebangsaan Indonesia bukanlah nasionalisme sempit, melainkan ikatan cinta tanah air yang inklusif, yang merangkul semua golongan dan menjalin persaudaraan dengan dunia “Nasinalisme harus hidup dalam taman sari Internationalisme”

Ia mengajak bangsa untuk membangun masyarakat yang berkeadilan sosial, bebas dari penindasan, sebagaimana ia katakan: “Kesejahteraan sosial, artinya kita membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur, tanpa eksploitasi manusia atas manusia.”

Soekarno juga menanamkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fondasi moral, bukan hanya pengakuan akan Tuhan, tetapi sebagai sumber kebenaran, kasih sayang, dan kesusilaan.

Dengan semangat mufakat, Soekarno mengajak rakyat untuk bermusyawarah, menghormati demokrasi, dan menolak tirani.

Inilah tonggak sejarah lahirnya Pancasila—ideologi yang menjadi lentera bangsa, penerang jalan menuju Indonesia Raya yang berdaulat dan bermartabat.

Bagaimana Pancasila kini?

Dewasa ini Pancasila sedangdikalahkan oleh perilaku dan nilai-nilai yang menyimpang baik pada level penyelenggara negara, penegak hukum maupun di kehidupan sehari-hari. Praktik bernegara di Indonesia sering kali menyimpang dari semangat pidato 1 Juni 1945. Berikut beberapa catatan kritis praktik bernegara berbangsa kekinian.

Soekarno menekankan kebangsaan yang tidak chauvinistik, namun dalam sejarah Indonesia, narasi kebangsaan sering dimanipulasi untuk kepentingan politik. Misalnya, pada era Orde Baru, narasi sejarah resmi menekan peran tokoh seperti Soekarno sendiri dan mengesampingkan kelompok tertentu, seperti etnis Tionghoa atau korban pelanggaran HAM 1965-1966. Proyek penulisan ulang sejarah nasional 2025, seperti dikritik Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), berpotensi menghilangkan fakta-fakta krusial seperti pembantaian massal pasca-G30S, yang bertentangan dengan semangat kebangsaan inklusif.
Hal ini berdampak pada penyusutan narasi sejarah, melemahkan identitas kebangsaan yang plural dan menciptakan polarisasi sosial.

Baca Juga  Indonesia Melalui Lensa Antropologi

Kesejahteraan Sosial dan Kebebasan dari Eksploitasi.

Visi Soekarno tentang masyarakat adil dan makmur tanpa eksploitasi belum sepenuhnya terwujud. Ketimpangan ekonomi tetap menjadi tantangan besar, dengan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di berbagai lapisan pemerintahan menghambat kesejahteraan sosial. Selain itu, pelanggaran HAM berat, seperti kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 atau kekerasan di Papua, mencerminkan kegagalan menegakkan keadilan sosial.

Ketidakadilan ini menciderai sila keempat Pancasila dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap negara.

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Fondasi Moral

Nilai kesusilaan dan kasih sayang yang ditekankan Soekarno sering kali terkikis oleh intoleransi dan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan. Contohnya, kasus penutupan rumah ibadah minoritas atau persekusi terhadap kelompok tertentu menunjukkan bahwa semangat Ketuhanan Yang Maha Esa belum sepenuhnya diwujudkan dalam praktik bernegara.

Perilaku intolerans ini melemahkan harmoni sosial dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi inti sila kedua.

Mufakat dan Demokrasi

Prinsip mufakat dan demokrasi yang diusung Soekarno sering kali tergerus oleh praktik otoritarianisme atau manipulasi politik. Misalnya, proyek penulisan ulang sejarah 2025 yang dikritik karena kurang transparan dan berpotensi menjadi alat legitimasi penguasa menunjukkan penyimpangan dari semangat musyawarah. Pemilu dan kebebasan berpendapat juga kadang terhambat oleh intervensi kekuasaan atau polarisasi politik.

Demokrasi yang tidak inklusif melemahkan partisipasi rakyat dan menciptakan ketidakstabilan politik.

Gotong Royong dan Semangat “Semua buat Semua. Semangat gotong royong sering kali terkikis oleh individualisme dan konflik kepentingan. Ketegangan antar kelompok, seperti polarisasi politik pasca-Reformasi atau konflik etnis di beberapa daerah, menunjukkan bahwa semangat “semua buat semua” belum sepenuhnya terwujud.

Hal ini menghambat persatuan nasional dan melemahkan fondasi kebangsaan yang inklusif.

Apa yang garus dilakukan?

Untuk mewujudkan Pancasila sebagaimana visi Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, berikut beberapa usulan kebijakan.

Pertama, Memperkuat Kebangsaan Inklusif melalui Pendidikan dan Sejarah yang Jujur. Reformasi kurikulum pendidikan sejarah untuk memasukkan narasi yang lengkap dan objektif, termasuk peristiwa kelam seperti pembantaian 1965-1966 dan pelanggaran HAM lainnya. Proyek penulisan ulang sejarah harus melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok marginal secara transparan untuk memastikan narasi yang inklusif.

Baca Juga  Pendapat Warga Terkait Danantara: Ada yang Pro dan Kontra

Dalam hal ini, BPIP dapat mengadakan dialog publik dan uji publik yang lebih luas untuk proyek sejarah nasional, serta memastikan representasi suara perempuan, etnis minoritas, dan korban pelanggaran HAM.

Kedua, mewujudkan Kesejahteraan Sosial melalui Kebijakan Berkeadilan.

Pemerintah perlu memperkuat kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil, seperti pemberdayaan UMKM, reforma agraria, dan pemberantasan KKN.

Ketiga, sebagaimana rekomendasikan oleh MPR, penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat harus dijalankan melalui pengadilan HAM ad hoc atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi,
Membentuk satuan tugas independen untuk menangani kasus-kasus HAM masa lalu dan mempercepat redistribusi aset untuk mengurangi ketimpangan.

Keempat, menegakkan Nilai Ketuhanan melalui Toleransi dan Kesusilaan. Memperkuat regulasi yang melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta menindak tegas pelaku intoleransi. Pendidikan agama di sekolah harus menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang lintas agama.

Pemerintah dan masyarakat sipil dapat mengadakan dialog antaragama secara rutin dan mendukung inisiatif budaya yang merayakan keberagaman.

Kelima, memperkuat Demokrasi melalui Transparansi dan Partisipasi. Memastikan kebebasan berpendapat dan pers, serta meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan kebijakan, termasuk proyek-proyek nasional seperti penulisan ulang sejarah. Pemilu harus dijaga dari intervensi politik dan manipulasi.
Membentuk badan pengawas independen untuk proyek nasional dan memperluas platform digital untuk partisipasi publik dalam kebijakan.

Keenam, menghidupkan Gotong Royong melalui Kolaborasi Masyarakat. Mendorong inisiatif masyarakat berbasis gotong royong, seperti program pemberdayaan komunitas lokal, pelestarian budaya, dan aksi sosial lintas kelompok. Media sosial dapat digunakan untuk mempromosikan nilai-nilai persatuan.

BPIP dan pemerintah daerah dalam.hal ini dapat mengadakan festival budaya Pancasila dan program sukarelawan nasional untuk memperkuat solidaritas sosial.

Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah nyala api yang menyalakan semangat Pancasila, sebuah ideologi yang lahir dari mimpi besar untuk menyatukan bangsa dalam keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan. Namun, tantangan dalam praktik bernegara menunjukkan bahwa visi ini belum sepenuhnya terwujud. Dengan komitmen kebangsaan yang kuat, melalui pendidikan yang jujur, kebijakan berkeadilan, para pemimpin yang berintegritas benas KKN dan semangat gotong royong, niscaya Indonesia dapat menjadikan Pancasila sebagai lentera yang terus menyala menuju Indonesia Emas 2045. Mari kita wujudkan semangat “semua buat semua” untuk Indonesia yang lebih adil, makmur, dan bermartabat! Selamat Hari Lahir Pancasila! #MenangkanPancasila

*)Penulis adalah Pengurus Yayasan Kedai Ide Pancasila

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *